Seperti seorang pelari marathon, itu agaknya kebiasaan rutin yang mesti dibangun seorang penulis dalam level apapun.Â
Dengan model ini seorang penulis bisa menjaga ritme dan energinya. Juga menghemat denyut nafasnya.Â
Nafas di sini bukan hanya terkait fisiologis, namun juga bermakna cara dia menangkap dan mengungkap gagasan.Â
Sebagian gagasan itu butuh refersensi kokoh, Â dalil dan pijakan. Sebagian lagi butuh pendalaman dan pembandingan dengan karya sejenis.Â
Jadi nafas seorang penulis adalah gagasan gagasan dan perspektif pengalamannya dalam menghasilkan tulisan.Â
Dalam gagasan itu ada kreativitas, nilai nilai dan pandangan hidup terhadap satu persoalan, terhadap satu objek.Â
Untuk itu, Â seorang penulis mesti dapat mengatur jeda untuk konsolidasi kognisi, memori dan relaksasi.
Itu dapat dilakukan dengan ragam interaksi antar-peristiwa dan momen kehidupan sosial yang langsung. Seperti membaca, mendengar berita, olahraga, serangkaian ibadah dan lainnya yang memicu rangsangan kreasi dan semangat.
Seorang penulis bisa saja ia berlari cepat, menulis sepanjang waktu, biasanya 5-6 jam untuk penulis profesional. Atau ia dapat membagi slot waktunya setiap hari untuk menulis, lainnya riset dan olahgagasan.Â
Namun,tetap saja,  ia semakin lebih banyak butuh terhadap suatu jeda yang dapat mengatur kembali ritme nafasnya.Â
Sebab, jalan seorang penulis sangat panjang dan diperlukan konsistensi agar hasil tulisan dapat hadir dan berkualitas.