Mohon tunggu...
Taufiq Sentana
Taufiq Sentana Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan dan sosial budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Praktisi pendidikan Islam. peneliti independen studi sosial-budaya dan kreativitas.menetap di Aceh Barat

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Semangkuk Soto dan Kenangannya yang Berlipat

11 September 2021   19:39 Diperbarui: 11 September 2021   21:59 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi.sotomedan.dok.resepkoki.

Semangkuk Soto dan Kenangan Tentangnya

Kenangan ini kuambil jauh
pada mulanya.  Sekitar tahun 97an, 24 tahun yang silam.

Walau aku dari Medan, soto mangkuknya tak pernah kunikmati dalam khas hidangan, kecuali Soto Medan ala Mie Instan, jauh sebelum 97 versi rasa itu sudah pasaran.

Mungkin bisa jadi dalil bahwa Soto Medan termasuk soto yang paling" asli, hingga jadi nama suatu produk, selain karena rasa dan kentalnya begitu nabrak di lidah kita.

Kembali ke kenangan yang kumaksud tadi, semangkuk soto itu mewakili peristiwa pagi yang paling akrab dan hangat.

Tak kuingat pasti, mungkin itu Soto Khas Jakarta, Betawi, atau Soto versi Soto Bangsa, rasa nasional. Karena saat itu memang tidak ada label yang tertera di warungnya.

Kenangan tentang apa?
Tentang seorang guru, direktur di lembaga pendidikan Islam Aceh saat itu. Beliau asli Jawa, dia mengajakku makan soto pada  pagi yang cerah. Kami berangkat sebelum subuh dengan Vespa tua.

Mungkin ini sepele, tapi kenangannya melekat: kami makan soto pagi di kedai Batu Phat Lhokseumawe, sehabis Beliau mengisi Ceramah Subuh di Masjid Istiqamah  Arun.

Aku hanya ikut menemani ceramahnya saja, sambil belajar dan menyimak, lalu tertular juga sampai kini: 

Rupanya, setelah Beliau pindah, akulah yang mengampu pelajaran "Tarbiyah" (pengantar pedagogik versi pesantren modern) yang  sebelumnya ia emban, itulah suratan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun