Lelaki itu melihat bias pagi di wajahnya.
Pagi yang kuning keperakan
dengan aroma gairah dan takjub
disertai angin musim yang lembut.
Hingga tiba waktu lohor dengan degup
segala rupa dari kelana. Sedang bening pagi masih lekat di akal dan batin si lelaki. Ia memandang lewat jendela
dan melihat kilatan waktu seperti menariknya.
Dan sorepun tiba, walau tidak datang tiba tiba, sore memberi isyarat baginya untuk mencari teduh, menemukan kembali telaga, membasuh keluh dan keruh dari serabut jiwa.
Di sekeling lelaki itu
seakan dunia menaburkan bunga bunga
untuk berpesta. Sesaat, mungkin saja ia menyemat bunga itu untuk suatu keperluan, tanpa memperlambat perjalanannya ke tepi senja.