Mohon tunggu...
Taufiq Sentana
Taufiq Sentana Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan dan sosial budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Praktisi pendidikan Islam. peneliti independen studi sosial-budaya dan kreativitas.menetap di Aceh Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puisi Jangan Kalah dengan Stand Up Komedi

1 Agustus 2021   17:47 Diperbarui: 1 Agustus 2021   17:51 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari ini penulis sering memerhatikan beberapa penampilan komika. Ajangnya disebut stand up comedy, semacam komedi tunggal dengan alur dan konsep tertentu.

Prinsip seorang komika, hanya memotret kejadian/materi dengan sudut pandang yang khas, semenarik mungkin dan lucu, durasinya sekitar 5 SD 10 Menit. Sebaiknya materi komedi itu muncul dari kegelisahan sendiri dalam kejadian sehari hari, demikian kata Radit, salah seorang komika senior.

Sedari dulu, penulis memang sudah suka dengan model komedi ini, saat awal marak di Indonesia. Sekarang sudah mulai menjamur, para komikanya juga banyak yang makmur, main film, sering manggung, main iklan, sesuai level masing masing.

Yah, artinya stand up ini cukup diminati oleh masyarakat. Sebab, yang diangkat memang refleksi kejadian sehari hari, dari bangun tidur, di pesawat terbang, rumah sakit, atau perilaku politik.

Bila diseriusi, stand komedi bisa menjadi bagian solusi juga, membuka perspektif kebijakan dan merangsang otak kreatif. Minimal, ia menjadi penawar sesaat, pelepas penat dari kegelisahan struktural kita yang begitu berat, misal, kok bisa wakil rakyat, lebih banyak gajinya dari yang ia wakilkan, dan kok bisa ya Indonesia dijagokan bakal finish paling akhir dalam penyelesaian dampak  Covid 19 dibandingkan negara lain, wah.....

Dari panggung komika, kita ke panggung puisi. Ini tentu berseberangan kemujurannya. Puisi seakan lebih "mahal dan ekslusif, lebih terdidik dan penuh khayal abstaraksi. Padahal,puisi diangkat dari hal/kejadian yang sama dengan instrumen diksi yang sedikit berbeda. Materinya juga beragam, bisa berakibat SARA juga bila tanpa kendali.

Namun panggung puisi memang, semacam ditakdirkan, tidak seramai stand up komedi. Karena puisi tidak menjamin kelucuan semata, mesti ada pengertian dan penghayatan di dalamnya. Puisi mungkin bisa lucu saat ditulis, tapi bisa berubah rasanya bila disampaikan terbuka.

Biarlah perbedaan ini tetap ada, sampai saat kita semua mengerti bahwa puisi juga memerlukan panggung yang mesti sama meriahnya dari komedi. Tujuannya mungkin bisa sama, menghibur, mendidik dan melestarikan kesadaran kolektif untuk perbaikan.

Puisi jangan kalah panggung, dong!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun