Mohon tunggu...
Taufiq Sentana
Taufiq Sentana Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan dan sosial budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Praktisi pendidikan Islam. peneliti independen studi sosial-budaya dan kreativitas.menetap di Aceh Barat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Relevansi Sastra Sufistik

30 Juli 2021   22:52 Diperbarui: 30 Juli 2021   23:30 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sastra Sufistik Bukan Berarti Menolak Dunia

Puisi sebagai bagian dari produk sastra, menjadi medium yang paling banyak digunakan penyair dalam menyampaikan gagasannya. Pada aslinya, kata sufi menunjukkan sikap bersih dan suci serta mewakili nilai-nilai kebaikan moral universal.

 Dalam pandangan ini, sastra sufistik tidak memiliki batasan pembeda yang jelas antara profetik dan religius. Tapi mungkin, menurut penulis, bila mesti dipisahkan, maka sastra sufistik lebih cenderung membahas pada terminologi akhlak, perbaikan diri dan kerinduan (isyqun). Namun, asas asli dari ketiganya adalah pada sifat transendental, termasuk sikap tauhid.

Secara historis, akhlak sufi mulai berkembang pada abad kedelapan Hijriyah, sebagai upaya perbaikan diri dan sosial saat itu yang cenderung pada kekuasaan dan materialisme.

Sedangkan di Indonesia (Nusantara), berawal dari fase Hamzah Fansuri, hingga puncaknya pada era modern 1970-1986, demikian menurut catatan Abdul Hadi WM dalam tirto.id, 2018.

Menurutnya, sastra sufistik bukan berarti menolak dunia, melainkan mengaitkan masyarakat tentang tujuan penciptaan dan Penciptanya. Sehingga, dalam pandangan ini, sastra sufistik tidak semata berbasis lokal-kedaerahan, tetapi universal karena bersumber asli pada nilai nilai kemanusiaan yang tinggi dan eksistensial.

Dengan demikian, sastra sufistik juga menjadi jembatan memaknai modernisme tanpa kehilangan tradisi dan nilai nilai spiritual

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun