Mohon tunggu...
Taufiq Sentana
Taufiq Sentana Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan dan sosial budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Praktisi pendidikan Islam. peneliti independen studi sosial-budaya dan kreativitas.menetap di Aceh Barat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Banjir Budaya Pop

23 Juli 2021   23:05 Diperbarui: 23 Juli 2021   23:48 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"Tumpuan utama memang pada pemerintah dengan segenap perangkat dan instrumennya, merekalah perwakilan watak sosial kita"

Kita batasi budaya pop sebagai konsesi budaya kekinian, instan, mudah akses dan cepat serta berbasis persepsi massa yang dipengaruhi oleh media dengan segala bentuknya.

Katakanlah, bagaimana massifnya  varian medsos dan jenis game online (permainan chip, misalnya) yang merasuk dalam kehidupan masyarakat muda, khususnya. Pengaruhnya begitu melekat, melewati sekat kultural apapun dan menjadi pandangan baru, trend baru dan kelatahan tertentu.

Dalam sistem nilai masyarakat muslim (Aceh, misal), Arus budaya pop yang berbasis media sosial, seperti tik tok, bisa melenakan siapapun akan basis nilai kulturalnya yang asli. Baik pemirsa dan pengisi kontennya, seakan hanyut dalam banjir besar konten digital yang bertebaran dengan ragam rupa.

Lain pada itu, arus budaya pop ini juga melebarkan batasan pergaulan antar-lawan jenis, terindikasi dalam sikap serba boleh dan bebas, serta menjamurnya kafe kafe/pusat hiburan/kongkow. Kita bisa menilik bagaimana pola pergaulan muda mudi kita saat ini, pergaulan kampus dan pergaulan ala online (yang sangat bisa menjadi negatif efeknya).

Setidaknya,  langkah preventif yang relevan dalam uraian ini adalah, bukan semata "menanamkan" nilai kita ke dalam benak dan pengalaman massa (remaja dan pemuda, siapapun).

Tapi, hendaknya, berawal dari memahami permasalahan dan konteks realitas kekinian, menghidupkan "kegelisahan tertentu terhadap perkara perkara sosial kita: kekerasan, pergaulan bebas, kemiskinan dan pergeseran nilai nilai. Bila konteks ini tidak muncul, maka akan tiada makna usaha kita untuk membincangkan solusi bersama demi kemajuan masyarakat secara utuh.

Jadi secara taktis-psikologis, menangkal banjir budaya pop tadi, tidak serta merta lewat wejangan, seminar dan sosialisasi, apalagi doktrinisasi. Sebab, mengabaikan sama sekali konteks sosial di atas juga tidak mungkin, sedangkan membiarkan "air bah" budaya pop itu diserap bebas tanpa seleksi, pastilah membahayakan sistem regenerasi masyarakat kita.

Tumpuan utama memang pada pemerintah dengan segenap perangkat dan instrumennya, merekalah perwakilan watak sosial kita. Lalu pada pranata sosial kita seperti keluarga, sekolah dan bahkan masjid, kesemuanya bisa menjadi pilar pilar yang menangkal kencangnya arus budaya pop tersebut.

Masalahnya kemudian, seberapa besar kesiapan kita untuk menangkalnya? dan seberapa besar kita menyadari gangguan sosial di sekitar kita dan merumuskan secara sinergis?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun