Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pahlawan Sunyi di Balik Gerobak Bakso

2 Mei 2025   06:14 Diperbarui: 6 Mei 2025   16:53 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mang Ujang dan gerobak baksonya (Sumber: Leonardo)

"Di balik gerobak bakso dan langkah yang tak banyak suara, tersembunyi keberanian seorang suami yang memilih menjadi pahlawan dengan cara yang tak biasa."

Mang Udin tidak pernah berniat jadi bahan cerita. Hidupnya sudah cukup ramai dengan bunyi roda gerobak yang berdecit, kuah mendidih dalam panci aluminium, dan suara pelanggan yang memanggil dari ujung gang, "Maang, dua mangkok, satu nggak pakai sambel!"

Ia senang begitu. Jualan bakso keliling dari siang sampai lepas magrib, lalu pulang, duduk di teras rumah mungil bercat biru muda, menikmati teh tubruk yang diseduh Bu Eni. Diam-diam ia merasa itu sudah cukup sebagai tanda keberhasilan hidup. Bukan karena omzetnya luar biasa, tapi karena ia tahu tiap sendok yang masuk ke mulut anak-anak tetangganya, datang dari kuah yang ia aduk dengan tangan sendiri.

Tapi hidup di kampung tak pernah benar-benar sunyi. Di Karang Sari, bahkan niat kentut pun bisa jadi isu musyawarah. Apalagi kalau kentutnya bau dan dilakukan di tengah arisan ibu-ibu.

Hari itu, Bu Eni—istrinya yang suaranya bisa mengalahkan toa masjid kalau sedang antusias—sedang ikut arisan di rumah Bu Jum. Tikar digelar, gelas teh ditaruh di nampan plastik berwarna merah, dan piring kue rengginang yang sudah kehilangan renyahnya dari pagi tadi mulai beredar. Suasana seperti biasa: ramai, hangat, penuh tawa dan sedikit sindiran.

Hingga seseorang bertanya, setengah bercanda, "Bu Eni, anaknya kan cuma dua. Kok nggak nambah lagi? Sekarang kan lagi musim bayi lucu-lucu."

Dan Bu Eni, tanpa sadar, menjawab dengan suara setengah bangga, "Lha wong suamiku sudah vasektomi, Mbak."

Sekilas sunyi menggantung. Seperti kipas angin yang mati mendadak.

Tak ada yang langsung bereaksi. Hanya Bu Atun yang tersedak teh dan buru-buru menutup mulut menggunakan ujung mukena—yang seharusnya tak dipakai saat arisan. Bu Jum mematung sambil masih memegang kartu arisan. Lalu bisik-bisik itu mulai tumbuh, pelan-pelan, seperti asap dari tungku dapur: tidak langsung terlihat, tapi baunya kemana-mana.

"Mang Udin... vasektomi?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun