"Ketika Pak Wiryo mencoba investasi emas digital, dunia maya yang katanya modern justru terasa seperti dunia gaib penuh teka-teki dan tawa yang tak terduga."
Pagi di rumah Pak Wiryo tak pernah terburu-buru. Jam dinding tua di ruang tamu berdetak pelan, seperti enggan meninggalkan malam. Suara burung kutilang saling sahut di pohon jambu, dan wangi kopi tubruk mengepul dari dapur, menyusup ke sela-sela jendela yang selalu terbuka setengah.
Di beranda, Pak Wiryo duduk dengan kaki bersilang, mengenakan sarung kotak dan kaus yang sabarnya sudah memudar warna. Di tangannya ada koran pagi, tapi matanya lebih sering melirik ke benda lain yang tergeletak di meja rotan, sebuah ponsel pintar dengan casing polos dan pelindung layar yang sudah retak di pojok kanan atas.
"Katanya, sekarang emas bisa dibeli pakai HP," gumamnya.
Suara itu tak ditujukan pada siapa-siapa. Istrinya sedang menyiram pot bunga di halaman. Anaknya sudah berangkat kerja sejak subuh. Tapi gumaman itu seolah ditujukan pada dunia yang semakin asing: dunia tempat tabungan tak lagi berwujud buku, dan harta tak lagi mengilap di tangan.
Seminggu lalu, ia duduk di shaf ketiga masjid kampung, mendengarkan ceramah usai salat Isya. Seorang ustadz muda, yang katanya jebolan universitas luar negeri, berbicara soal pentingnya perencanaan keuangan di usia senja.
"Jangan hanya andalkan pensiun. Investasi, Pak-Bu. Emas itu aman, stabil, dan sekarang bisa dibeli lewat aplikasi. Tinggal klik saja!"
Klik.
Satu kata itu menancap di benak Pak Wiryo lebih dalam dari isi khutbah-khutbah yang pernah ia tulis di masa mudanya. Anak bungsunya, Seno, juga sering menyebut kata serupa setiap kali membantunya memesan makanan lewat HP.
"Klik saja, Pak."