"Ketika dunia mengecil dan waktu terasa rapuh, seorang perempuan belajar menggenggam hidupnya kembali—pelan, tapi pasti."
Jam dinding di ruang tamu berdetak terlalu keras. Atau mungkin hanya terdengar begitu di telinga Bu Sari, yang akhir-akhir ini terlalu peka terhadap sunyi. Suara detiknya seperti kaki-kaki tikus kecil yang berlarian di dalam kotak waktu. Ruangan itu tidak ramai, tidak pula sepenuhnya sunyi. Seperti sedang menunggu seseorang bicara, tapi tak ada siapa-siapa.
Kursi rotan di pojok kanan mulai mengelupas. Dulu tempat anak-anaknya duduk kalau main congklak. Kini jadi tempat menumpuk koran bekas dan bantal kusam. Suaminya, Pak Harun, lebih sering duduk di teras belakang, menyiram pot bunga sambil menunduk. Kata-kata mereka belakangan ini hanya sekadar formalitas. Saling menyapa tanpa menyentuh.
Bu Sari berjalan ke dapur, membuat teh. Panci kecil berbunyi ketika ditaruh di atas kompor. Bunyi logam yang dulu tak ia perhatikan, kini terdengar seperti denting lonceng yang menggema dalam kepala. Ia tidak bosan—ia kosong. Seperti mangkuk tua yang masih utuh, tapi tak lagi dipakai. Tertinggal di rak dan dibiarkan berdebu.
Menopause. Kata itu dulu terdengar seperti nama kota asing. Jauh. Tidak nyata. Tapi kini ia hidup di tubuh Bu Sari. Dalam keringat dingin yang menetes tanpa aba-aba. Dalam malam-malam yang membuatnya terbangun tanpa sebab. Dalam cemas yang menggantung tanpa akar. Dalam tubuh yang perlahan-lahan menjadi asing: melebar di pinggul, mengendur di lengan, berat di langkah.
Sore itu, ia mencoba bicara.
"Pak," katanya dari pintu dapur, "mau teh?"
Pak Harun menoleh sebentar, lalu mengangguk. "Mau. Tapi jangan manis-manis."
Ia menaruh cangkir di samping kursi tempat Pak Harun duduk. Lelaki itu menyeruput pelan. Diam. Tidak ada ucapan terima kasih. Tidak ada keluhan atau pujian. Hanya seruput. Lalu hening lagi. Bu Sari pun kembali ke dalam rumah. Obrolan itu selesai sebelum sempat menjadi kalimat utuh.
Di kamar, ia duduk di depan cermin. Wajahnya masih ada. Kulitnya belum sepenuhnya keriput. Tapi sesuatu di matanya hilang. Mungkin cahaya. Mungkin gairah. Atau mungkin hanya perasaannya saja. Tapi ia tak mengenali perempuan di cermin. Bukan Bu Sari yang dulu suka menggambar bunga di halaman belakang saat hujan turun.