"Talent is universal but opportunity is not."
Kalimat luar biasa itu mampir di timeline-ku beberapa minggu yang lalu. Aku pun buru-buru memberikannya like, tetapi tak sempat memikirkannya. Karena beberapa kesibukan kecil..
Namun, pada suatu malam, sebelum aku melangkahi dini hari untuk pergi tidur, aku tiba-tiba tercenung memikirkan kalimat itu. Tiba-tiba ingatanku seperti dibawa pergi lari ke suatu waktu ketika aku masih kecil, ketika aku pergi meninggalkan kotaku, dan ketika aku sedang menatap karir suramku. Pada saat aku mulai mengukir mimpi-mimpi yang muskil ...
Seumpama aku bertemu dengan sepuluh kisah serupa kisah milik Aditya yang meracuni pikiranku dan membuat semangatku meletup-letup. Seumpama karir suramku tidak melambungkan angan dan cita-citaku.
Apakah iya yang kuperoleh hari ini itu hanya karena semangatku yang meletup-letup itu, hanya karena aku terus memeluk mimpiku, memeluk harapan, dan bersungguh-sungguh dalam bekerja? Bagaimana jikalau kesempatan itu tidak pernah datang, apakah iya aku akan seperti aku saat ini?
Tidak mungkin, kan?
Opportunity. Itulah yang ternyata telah merubah hidupku...
Jadi, jika begitu, ternyata, aku selama ini telah memiliki kesalahpahaman bahwa sukses itu semata-mata hanya karena dedikasi, keseriusan, fokus, usaha keras, bakat, serta dorongan untuk berhasil saja. Ternyata tidak hanya itu saja. Meskipun itu adalah benar adanya, ternyata penting juga untuk mengetahui seberapa besar semua itu menjadi kita berhasil jikalau ternyata kesempatan itu tidak pernah datang kepada kita.
Barangkali ada banyak dari orang-orang selain kita yang mungkin lebih baik dari kita; lebih rajin, lebih serius, lebih pintar, lebih tekun, lebih berbakat, dan lebih memiliki dorongan untuk sukses, tetapi nyatanya mereka hanya 'biasa-biasa saja' - jauh di bawah kita karena sebenarnya tak pernah sekalipun kesempatan datang kepadanya. Benar seperti itu, kan? Atau, bisa saja, kesempatan itu pernah datang kepada mereka suatu kali, tetapi mereka sama sekali tidak pernah mau mengambilnya..
Eryn, anak salah satu temanku, adalah anak yang sangat pintar. Ia, kurasa, jauh lebih pintar dari anakku. Tetapi, karena ia tak pernah memiliki kesempatan, ia tak bisa seperti anakku yang bisa belajar di sekolah sangat elit yang murid-muridnya kerap dikirim guru-guru mereka ke berbagai lomba atau olimpiade di luar negeri. Â Â
Frans, temanku yang lain, boleh saja merasa pintar karena sebagaimana kisah yang pernah dibagikannya kepadaku, ia pernah berturut-turut menjadi juara kelas semasa ia sekolah di SMA dan lalu lulus kuliah dengan predikat sangat membanggakan. Tetapi, apa yang bisa diperolehnya, jikalau tidak ada satupun kesempatan yang mendatanginya? Ia harus rela menjadi staf biasa dan tidak membanggakan untuk diceritakan.