Setelah itu ia pergi meninggalkan halaman kostel.
Memasuki kamar kostel, sebelum mengambil air hangat untuk mandi, beberapa saat lamanya saya masih mengingat-ingat kejadian itu. Masih saja saya tak habis mengerti kalau saya mengingat-ingat intimidasi itu. Sebenarnya, berapa ribu sih yang abang ojek daring itu dapatkan dari pesanan hanya segelas minuman? Kecil sekali, kan? Apakah nilainya sudah cukup untuk membayar intimidasi dan konsekuensi yang bakal ia terima?
Lebih dari itu, saya pikir, malam juga sudah cukup larut. Bukankah si abang ojek tadi dengan jelas mengatakan last order? Bagaimana jika, misalnya, kedai itu sudah tutup ketika ia sampai? Apakah tidak sebaiknya ia memaafkan saja, toh seberapa penting sih perbedannya antara minuman tidak dingin dengan dingin? Apakah akan mengakibatkan sesuatu yang parah, misalnya, jika ia minum dalam keadaan dingin atau tidak dingin?
Bintang 1, atau rating 1, atau apapun namanya. Bukankah ini adalah sesuatu yang barangkali sepele bagi mbak yang sedang kesal malam itu, tetapi sangat menakutkan bagi driver ojek daring?
Begini. Semua orang tahu bahwa bintang atau rating itu adalah serupa tanda atau rapot kinerja, yang orang-orang kerap sebut sebagai KPI (key performance indicator). Memberikannya pun sangat mudah, tinggal klik, dan beres. Tapi, tahukah kita bahwa itu sangat berkaitan dengan nasib orang lain? Konsekuensinya tidak pernah main-main.
Saya mengerti, sebagaimana kebanyakan orang-orang kota yang "manja", wajah perempuan pemesan minuman tadi itu tak peduli. Ia tak peduli apakah kedai itu sudah tutup atau tidak, minuman yang dipesannya masih ada atau tidak, dan tak peduli dengan intimidasi dan konsekuensi.
Menjadi manusia kota yang (sedikit) pemaaf memang tak pernah mudah.