Klik. Ketika saya membuka pintu kamar kostel, ia biasanya langsung menghambur masuk ke kamar begitu saja. Memanjangkan tubuhnya, lalu duduk selonjoran persis di samping kulkas. Menunggu saya memberinya makan.
Jika saya tak segera memberinya makan, ia berguling-guling, berjalan kesana kemari dan sesekali menatapku. Saya sering tersenyum menggodanya dengan cara membuka pintu kulkas tapi tak segera mengambilkannya ikan.Â
Aku membiarkan saja segala tingkahnya yang lucu.Â
Beberapa belas hari kemudian. Tiba-tiba sesuatu yang pernah saya kuatirkan itu akhirnya datang: gara-gara kucing jantan itu, kini kucing-kucing kampung yang lain menjadi ikut-ikutan datang ke kamarku. Tadinya, satu ekor, lalu bertambah lagi, lalu bertambah lagi. Begitu seterusnya.. sampai akhirnya menjadi 10 ekor.
Tapi, sekali lagi, saya tidak pernah merasa keberatan memelihara mereka..
***
Suatu kali, di pasar di mana saya biasa membeli ikan untuk kucing-kucing kampung yang berjumlah 10 ekor itu, saya mengajak penjual ikan berbincang-bincang dan menanyakan siapa wanita paruh baya yang membuat saya penasaran.Â
Saya memang kerap penasaran dengan ibu paruh baya yang kerap kulihat memberi makan kucing-kucing kampung yang dibuang di pasar dengan memberi mereka makan dengan ikan-ikan yang dibelinya dari penjual yang sama. Saya agak heran, karena jumlah kucing-kucing liar di pasar itu, jika saya tidak salah menghitung, tidak kurang dari 25-an ekor.
"Oh, itu bu haji," kata penjual ikan.
"Jadi, berapa tiap hari ibu itu membeli ikan untuk kucing-kucing itu?"
"Kadang-kadang delapan puluh ribu. Kadang-kadang seratus ribu,pak."