Andai aku  tidak kenal Baskoro, mungkin aku tak akan pernah tahu bahwa mahluk yang bernama laki-laki itu ternyata bisa rapuh dan menangis seperti seorang perempuan yang tak kuat menanggungkan perasaan. Pada sosok Baskoro juga, aku akhirnya paham bahwa bagi sebagian orang, melupakan mantan itu ternyata bisa menjadi perkara sangat rumit.
Baskoro, laki-laki yang telah berumur hampir empat puluh tahun, kukira adalah laki-laki yang sangat ideal. Putih, pintar, bergelar magister ekonomi dari universitas paling top di Indonesia yang kampusnya ada di Depok, Jawa Barat. Badannya juga tegap dan liat, meski ia tak seberapa tinggi. Tetapi, yang jelas, jika aku lihat pada wajahnya, aku benar-benar tak menemukan kesan rapuh sama sekali.
Tetapi, beberapa bulan yang lalu, ketika malam mulai senyap, ketika kami duduk di kursi plastik bertemankan teh dan jajanan, aku terkesiap. Ibunya yang tak pernah mengatakan tidak untuk apa pun yang ia tidak ingin lakukan, dan mengatakan iya untuk apapun yang akan ia lakukan, setengah mendesak ibunya mengatakan: "Kamu segera menikah!"
Baskoro terperanjat sebab ia memang sudah memutuskan tak mau 'buru-buru' menikah. Ia sedih bukan kepalang karena teringat kisah cintanya yang karam sekaram-karamnya. Mendengar kata-kata ibunya, ia terpaku lalu luruh. Kata menikah benar-benar membuatnya gugup -- setidaknya untuk sementara waktu. Ia belum siap menikah dengan perempuan lain dalam waktu dekat sampai (barangkali) suatu saat ketika wajah Mila sudah mau pergi dari mimpi-mimpinya. Ia menjadi penakut sebab hatinya sudah ia berikan semuanya untuk Mila.
Aku diam, diam tak bersuara. Baskoro, seperti yang kuyakini, masih seperti Baskoro yang dulu kukenal. Baginya, iya adalah iya. Dan tidak adalah tidak. Aku kuatir segenap saran dan ide-ide brilianku hanya akan dijadikannya sampah tak ada guna.
Jarum jam sudah mendekati angka 22.00. Malam kian larut. Hanya kami berdua yang masih duduk di kedai serupa koridor yang diterangi cahaya lampu yang kekuning-kuningan. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri: mengapa Baskoro bisa serapuh ini? Dari kilau cahaya lampu yang menyiram wajahnya aku dapat melihat lara hatinya karena hampir putus asa.
Malam benar-benar kian larut. Yang terdengar hanya suara angin.
Tak pudar juga ingatanku, dulu, pada satu sore, saat kami sedang dalam perjalanan ke Bandung, aku juga mendengarkan kisah yang serupa dengan Baskoro. "Jane," kata Frans menyebut nama gadis teman SMA yang (dulu) begitu ia cintai.
Saat itu, satu sore di jalan tol Jakarta -- Bandung, setelah kami bertiga mengobrol rupa-rupa topik, tiba-tiba Frans, teman saya, ingin menjadikan tema CLBK sebagai tema hangat kami sepanjang sore itu.
"Ini foto Jane," kata Frans lalu menyodorkan hapenya kepada saya.
Saya melihat sekilas wajah Jane di layar hape androidnya. Memakai mantel warna coklat, dengan kerudung berwarna terang, celana jin gelap dan sepatu dengan hak tinggi, Jane memang tampak anggun. Keibuan.