Laki-laki memang cenderung terlihat mampu menahan kesedihannya, tetapi tidak dengan perempuan. Perempuan mampu menangis walaupun ia sedang berada di depan banyak orang. Jika perempuan sedang sendirian, niscaya ia bisa lebih lama waktu menangisnya -- untuk menghayati ketika ia meneteskan air matanya.
Bagi seorang perempuan, air mata yang mengalir pelan di pelupuk matanya itu sebenarnya adalah makna: ia sangat bersalah, butuh bantuan dan dukungan.
"Menangis adalah cara nonverbal untuk mengatakan: saya butuh bantuan dan dukungan," kata Profesor Wolf. Air mata bisa membuat seorang pemimpin tampak lebih nyaman dan "lebih hangat". Tetapi, air mata, katanya, juga dapat membuat seorang pemimpin tampak tidak berdaya dan kurang kompeten.
Menurut penelitian, menangis itu bukan monopoli kaum perempuan saja. Menurut William H. Frey, seorang ahli biokimia, perempuan (rata-rata) menangis lima kali lebih sering daripada laki-laki, yaitu: lima kali per bulan. Perempuan juga menangis lebih lama.
Ada banyak alasan untuk menerima tangisan sebagai hal lumrah, termasuk kondisi budaya - lebih dapat diterima bagi perempuan untuk menangis - dan fakta bahwa saluran air mata perempuan secara anatomis lebih dangkal dibandingkan laki-laki, yang mengarah ke spillover, yang membuat tangisan perempuan lebih terlihat.
Tetapi, tetap saja, harapan sosial mengatakan: laki-laki, apalagi dalam politik, secara tradisional sebaiknya memang tidak perlu menangis.
Ibu Risma, ibu yang saya banggakan, yang sering kulihat teguh, gigih dan tak pernah mau kompromi, yang saya harapkan ia seharusnya tidak menangis karena ia sedang mempertaruhkan popularitasnya, akhirnya 'tak mampu' melawan kodratnya.