Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Karena Jakarta Menyimpan Kisah Pahit dan Manis

23 Juni 2020   14:12 Diperbarui: 22 Juni 2021   07:25 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Nasional, ikon DKI Jakarta (Foto: KOMPAS.com/Vitorio Mantalean)

Mereka, Anda pasti sudah tahu, tinggal di perkampungan padat penduduk dengan jalan dan gang yang begitu sempit dan berliku-liku serupa labirin.

Bahkan, saking sempitnya jalan itu, saya kasih tahu Anda, semisal ada 2 orang gemuk lewat atau berjalan beriringan, mereka pasti akan kesulitan. Loteng-loteng kayu tampak dibuat seadanya dan sangat sulit dinaiki sebab dibuat hampir 80 derajat tegaknya.    

Gang-gang sempit Jakarta, di belakang gedung-gedung bertingkat tinggi menjulang, juga tak seindah seperti yang dikabarkan. Ada odong-odong, jemuran kutang, dan sarung lusuh di depan rumah.

Ada pula suara gerinda dari tetangga yang lagi mempermak motor tuanya, atau bocah menangis yang minta uang jajan. Pemandangan ini, kata mereka, ada sudah lebih dari berpuluh-puluh lamanya. Dan, bisa jadi, akan terus seperti itu.

Belum lagi cerita Netty, perempuan manis berponi lucu, yang semangatnya pernah begitu meletup-letup ketika pertama kali datang di kota yang gemerlap ini tetapi kemudian meredup seredup-redupnya setelah tak kuasa berjuang sendirian. 

Di tengah kesuntukan dan mungkin keputus-asaannya, ironis, perempuan itu memilih mengais rupiah di tempat remang-remang.

Begitulah Jakarta. The struggle is real.

Tetapi di balik semua yang saya kisahkan di atas itu, saya harus mengakui, Jakarta adalah wajah dan gaya hidup. Iklan-iklan televisi, flyer dan brosur berlomba-lomba menawarkan kawasan prestisus yang dilengkapi dengan fasilitas "wah" dan security system yang tak pernah tidur.

Rumah-rumah sangat mewah itu demikian teduh, tenteram dalam lanskap hijau yang meliuk-liuk, bermartabat, dan tenang seperti permukaan danau.  

Manusia-manusia yang mendiami Jakarta juga saya sebut "aneh" sebab mereka sudah mengklaim bahwa mereka adalah serupa artis yang ingin segala apa saja yang dilakukannya harus diberitakan dan diperbicangkan.

Sementara manusia-manusia di luar Jakarta hanya dianggap sebagi penonton yang setiap saat harus mau bertepuk tangan, tertawa atau menangis menontoni tragedi dan drama serupa opera. Yaps, apa saja yang terjadi di kota ini memang harus diwartakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun