Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Buku-buku di Sudut Ruangan yang Hening

2 Juni 2020   15:42 Diperbarui: 2 Juni 2020   16:45 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar ilustrasi: community.anaplan.com

AWALNYA, saya pikir, kebijakan WFH yang diterapkan oleh perusahaan tempat saya bekerja, benar-benar membuat saya harus meringkuk di dalam rumah. Berbulan-bulan lamanya. Maka, sebelum penyakit suntuk dan jenuh akut itu benar-benar datang mendera, saya buru-buru pergi ke toko buku lalu menculik 4 buah buku dari sana. Untuk mengusir sepi nanti, batin saya.

Di saat-saat seperti itu, saya juga merasa "iri" dengan banyak orang yang girang menceritakan judul-judul buku yang sudah mereka baca. Foto-fotonya lantas mereka pajang di lini masa media sosial: buku-buku mereka diletakkan bersebelahan dengan secangkir kopi atau teh. Atau dengan panganan kecil.

Pada saat itu, aku mendadak merasa buku adalah tempatku yang sebenarnya. Tempat semestinya aku kembali. Setelah aku sibuk dengan rentetan informasi dan cerita-cerita lebay yang dikisahkan terus menerus dan tanpa henti.

Tetapi, ternyata, setelah dua minggu berjalan, entah mengapa situasi yang tak kuduga menimpaku kembali. Aku mendadak meninggalkan buku. Bahkan, satu dari empat buku yang kubeli itu ternyata belum kutamatkan. Aku, akhirnya, kembali sibuk dengan media sosial, dunia yang telah merenggut "damai" dari hidupku selama ini. Aku benar-benar bisa merasai itu.

Media sosial membuat ritme hidup saya, selama di Jakarta, selalu tidak jauh-jauh dari siklus ini: bangun subuh hari usai suara ayat-ayat suci dilambungkan dari corong surau, sembahyang 2 rekaat, lalu duduk bersandar di tembok kostel memeriksa timeline, hastag, FB, menaikkan hastag, memberikan komen, me-like, me-retweet ... Dan, mendadak terhenyak, ternyata, saya belum melakukan apa-apa hingga jam 6.30!

Setiap pulang dari kantor, menjelang atau setelah jam 10 malam, pada saat raga sudah penat, saya juga tidak bisa lekas pergi tidur. Sebelum saya benar-benar bisa memeluk mimpi, saya (ternyata) kembali menyerah diseret masuk ke dalam kerumunan orang-orang dalam gelembung-gelembung obrolan itu. Memberi komentar di laman akun-akun orang-orang terkenal yang saya follow dan kadang-kadang ikut nimbrung dalam keriuhan orang-orang yang saling menghujat .....

Mengapa saya tidak bisa lekas pergi dari kerumunan itu?

Huh, apakah saya benar-benar terkena kutukan racun pekat dopamin dan oxytocin, seperti yang pernah saya baca itu?

Dopamin, dulu, oleh para ilmuwan, dikatakan sebagai bahan kimia kesenangan yang ada di otak manusia. Tetapi, setelah ilmu berkembang, kini kita tahu apa yang dopamin ciptakan itu. Dopamin menyebabkan kita mencari, menginginkan, dan kembali mencari (informasi). Dopamin dirangsang oleh sesuatu yang tidak pasti, oleh informasi yang sedikit, dan oleh penghargaan-penghargaan. Bukankah kita memang merasakan kesenangan jika postingan kita di-like orang?

Demikian pekatnya dopamin itu meracuni manusia, sehingga sebuah penelitian menemukan kesimpulan bahwa berhenti bermedia sosial itu (mungkin) bisa lebih sulit daripada harus  berhenti merokok dan menenggak alkohol.

Racun yang kedua adalah Oksitosin. Oksitosin adalah adalah hormon yang bekerja pada organ-organ dalam tubuh manusia dan sebagai pembawa bahan kimia di otak, yang salah satu fungsinya adalah untuk mengendalikan aspek-aspek perilaku manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun