Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jalur Sepeda Itu untuk Siapa?

12 Desember 2019   09:17 Diperbarui: 12 Desember 2019   09:30 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ilustrasi: Republika

SABTU (7/12/19), usai saya menghadiri sebuah acara di salah satu tempat di bilangan Cilandak, saya bergegas pulang ke Kuningan Setiabudi. Saya memutuskan melewati jalan Mampang dan Warung Buncit karena jalan itulah jalan yang menurut saya rute paling dekat.

Woihhh! Agak kaget saya ketika ban motor saya melintas di atas aspal jalan Mampang dan Warung Buncit. Rupanya jalan aspal di sana sudah digarisi dengan cat berwarna putih tebal dan di beberapa tempat ditulisi dengan tulisan besar: Jalur Sepeda.

Saya, sebelumnya, memang sudah pernah mendengar kabar bahwa sejak September 2019, DKI menguji coba jalur sepeda di beberapa ruas jalan. Slogan "Jakarta Ramah Sepeda" turut digaungkan untuk memopulerkannya. Tetapi, saya benar-benar tidak tahu, bahwa jalan Mampang dan Warung Buncit, yang "sempit" itu, ternyata, juga termasuk dalam daftar jalur sepeda yang akan dibangun sepanjang 63 kilometer itu.

Jalur sepeda ini, konon, dirancang dan dibangun sebagai salah satu upaya untuk mengurangi polusi yang (kabarnya) 75 persen diantaranya disumbang oleh hasil pembakaran bahan bakar fosil kendaraan bermotor.

Tahun depan, bahkan, kabarnya lagi, Pemda DKI berencana membuat 200 km jalur sepeda dengan anggaran 62 milyar.

Merasa memeroleh ide menarik untuk saya jadikan bahan baku meracik tulisan, saya segera memutuskan melambatkan laju motor dan beristirahat.

Maka, di sebuah warung kopi, di pinggir jalan, selama 30 menit itu, saya pun mulai menggali bahan tulisan. Sembari menyesapi kopi dan jajanan kecil, saya dengan sangat perhatian mengamati jalur sepeda itu, menit demi menit, dan menghitungi berapa belas atau berapa puluh sepeda yang menggunakan jalur itu.

Tetapi, setelah 30 menit, ditambah dengan perjalanan dari ujung ke ujung jalan Mampang dan Warung Buncit sampai sebelum memasuki jalan HR. Rasuna Said Kuningan, saya (ternyata) hanya mendapati satu pesepeda saja! Tidak lebih.

Mendapati temuan itu, pertanyaan-pertanyaan usil tiba-tiba spontan mampir dan mengganggu pikiran saya: mengapa Pemda DKI memutuskan membangun jalur sepeda dengan tidak melakukan survei terlebih dahulu dengan menanyai pesepeda untuk melihat apakah jalan Mampang dan Warung Buncit adalah jalur favorit atau jalur yang kerap dilalui mereka? Jika tidak ada survei itu, lantas, dengan dasar atau pertimbangan teknis apa Pemda DKI membangun jalur sepeda disana?

Pertanyaan itu sangat mengganggu pikiran saya, meski, bisa saja (apa yang saya tulis) adalah salah besar; karena pada hari-hari lain selain Sabtu, bisa jadi jalan itu dilalui oleh ratusan atau seribuan pesepeda dari pagi hingga petang.

Jalan Mampang dan Warung Buncit juga sangat rapat oleh toko-toko di sepanjang pinggir jalan, di kanan dan kirinya. Karena banyak sekali tempat usaha itu, maka, di banyak tempat saya melihat beberapa kendaraan diparkir bebas dan menghalangi jalur sepeda.

"Mau diparkir di mana (lagi), pak?" kilah salah satu dari mereka.

Selain masalah di atas itu, ada lagi masalah lain seperti yang satu ini: karena ruang jalan diambil oleh jalur sepeda, maka, beberapa ruas jalan raya di sana menjadi "menyempit". Karena ruang jalan yang menyempit itulah, maka, seperti yang saya lihat, ada beberapa ruas jalan yang nyaris tak bisa dilewati 2 (dua) mobil yang berjalan searah dan berjejer.

Jika kita ingin teguh memegang aturan, bahwa aturan adalah aturan, maka saya hampir tidak bisa membayangkan, bahwa pada saat jam-jam sibuk, akan berapa panjang antrian mobil di sana agar disebut taat aturan? Bukankah, jika 2 (dua) mobil berjalan searah dan berjejer, maka roda mobil yang berjalan paling pinggir pasti akan menerjang jalur sepeda yang garisnya dibuat tidak putus-putus itu?

Ruang jalan Mampang dan Warung Buncit yang sangat sempit itu sudah terkenal sangat padat lalu lintas pada jam-jam sibuk sejak dahulu kala. Mengapa (fakta) ini tidak membuatnya dijadikan bahan pertimbangan sehingga membuat jalur sepeda di sana seperti jalur sepeda di jalan Cideng yang garisnya dibuat putus-putus semata-mata agar pada keadaan macet parah, jalur sepeda yang kosong tetap bisa bermanfaat?

Di jalan Mampang dan Warung Buncit tersebut, siang itu, saya juga bisa melihati dan menjumpai banyak kendaraan bermotor roda dua dan empat yang diparkir bebas di atas jalur sepeda tanpa merasa khawatir akan ditindak petugas. Lebih lagi, pada saat laju kendaraan terhambat di pertigaan atau perempatan karena lampu merah menyala, kendaraan bermotor saling berebut memadati jalur sepeda.

"Terpaksa mas, mosok harus antri jauh dibelakang mobil?" kilah seorang pengendara motor ketika saya mencoba memintai pendapatnya. "Jalur sepedanya kan kosong melompong."

"Proyek mubazir," kata pengendara yang satunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun