Lama-lama, saya seperti merasakan bahwa setiap olok-olok yang digunakan sebagai bahan canda di WhatsApp grup (WAG) teman-teman sekolah lama itu ternyata adalah fobia yang dirayakan dan dinikmati bersama.Â
Tidak ada pikiran sedikitpun, bagaimana perasaan dan malunya orang yang menjadi objek, yang (mungkin) orang itu bisa saja sangat dihargai di tempat pekerjaannya sekarang dan memiliki anak buah puluhan dan terpelajar, tiba-tiba kepadanya harus dipanggil dengan nama "hallo Painem!" atau "si jari kriting".
Tawa terpingkal-pingkal atas candaan dengan fitur fisik sebagai bahan lelucon disertai komentar bersahut-sahutan itu, saya pikir, tampak seperti ide konyol.
Jengah dengan candaan yang begitu merendahkan, saya pun akhirnya memutuskan tidak lagi membaca chat. Saya biarkan chat itu masuk ke gawai berhari-hari. Sampai ribuan. Lalu saya klik "clear chat".
Candaan dengan menggunakan kekurangan fisik itu, saya amati -- hari ini, seperti sudah menjadi norma atau hal sangat lumrah. Dan sialnya, sebagian orang sangat menikmatinya. Saya pun berpertanyaan: jika hape itu tidak pernah lepas semenit pun dari tanggnya, apakah teman saya dan orang-orang yang suka mengolok-olok itu benar-benar tidak paham atau tidak tahu bahwa orang yang dibully itu, dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), bisa membawa seseorang (penghinanya) ke muka hukum dengan tuduhan penghinaan, yaitu body shaming?
Tuduhan penghinaan atau komentar yang berunsur body shaming adalah komentar yang mengejek seseorang karena kekurangan fisiknya, seperti menghina bentuk wajah yang tidak simetris, jari yang keriting, bentuk tubuh yang membulat dan/atau komentar-komentar lain tentang cacat dan kekurangan fisik lainnya yang membuat seseorang tersebut malu atau dipermalukan. Pendek kata, orang itu merasa tidak berkenan.
Kini, saat UU ITE diterapkan, orang-orang tidak lagi bebas bercanda-canda. Berdasarkan salinan UU ITE di situs web.kominfo.go.id, pelaku penghinaan atau body shaming di media sosial kini dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda maksimal Rp 750 juta.
Membawa seseorang (penghina) ke muka hukum dengan tuduhan penghinaan karena kekurangan fisik, rasanya, memang seperti "kebablasan". Semestinya, olok-olok "cabe keriting" bisa diselesaikan dengan sangat mudah. Namun, kadang-kadang, tetap saja muncul pertanyaan; mengapa orang sangat mudah dan gemar melabeli seseorang hanya dari tampilan (kekurangan) fisik semata?