Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akun Anonim, Sikap Munafik dan Demokrasi Kita

15 Agustus 2018   16:10 Diperbarui: 15 Agustus 2018   21:27 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Awalnya, saya menganggap keberanian orang bicara dan menyuarakan pendapat berbeda di media sosial adalah kabar menggembirakan. Ini, setidaknya, menjadi awal sangat baik sebelum demokrasi kita menemukan kedewasaannya. Namun, anggapan saya ternyata salah. Ceritanya menjadi berubah sejak 2016 dan malah semakin mengkhawatirkan akhir-akhir ini.

Alih-alih mendapatkan ide pikiran atau gagasan luar biasa, atau mendapatkan inspirasi untuk menjalani hidup yang lebih baik, atau menemukan forum diskusi yang mencerahkan, keberanian berbicara dan mengatakan pendapat yang berbeda di media sosial justru berubah menjadi perang dalam tanda kutip.

Perang dalam tanda kutip semakin menjadi-jadi menjelang pemilihan kepala daerah (dan sekarang menjelang Pilpres 2019). Para pendukung kubu ini dan itu selalu bertengkar di ruang maya. Mereka ramai-ramai membuat akun anonim, akun samaran, atau akun pseudonym atau dalam bahasa Indonesia berarti akun yang menggunakan nama samaran.

Di tengah hiruk pikuk politik tanah air dan perang dalam tanda kutip itu, akun-akun anonim terus bermunculan dan ikut bermain. Tugas mereka tak hanya membicarakan, membagi dan menjustifikasi pendapat orang lain, tetapi juga menghina, mengejek dan merendahkan. Di alam mereka, kepakaran dibuat lumpuh.

Dalam konstruksi persepsi yang mereka bangun, sesuai dengan perintah pemberi pekerjaan, apapun dan semua yang dilakukan lawan-lawan politik adalah salah. Ketat salah, longgar salah.

Masing-masing akun anonim itu berperan membangun, memainkan dan menggiring opini publik dengan cara memainkan setiap isu politik.

Tugas mereka tidak mungkin atau amat jarang membagikan gagasan yang luar biasa, mencerahkan, ide yang padang jinggrang atau berusaha menarik kita untuk aktif terlibat atau masuk ke dalam diskusi-diskusi yang hebat. Tugas mereka adalah; pertama, menyanggah. Yang kedua, menyerang.

Diakui, keberadaan mereka tak bisa dipandang sebelah mata. Para analis, pemerhati media sosial dan para pakar mengatakan pendapat yang serupa, bahwa akun anonim memiliki pengaruh besar dalam menggiring opini publik. Apalagi jika followersnya banyak (misalnya 1 juta follower) dan konsisten ngetwit atau memposting tulisan yang sesuai dengan platform politik mereka.

"Pertempuran" di media sosial sekarang tampak semakin kelewatan dan melanggar batas. Para akun anonim tak hanya menggiring dan membentuk opini, tetapi juga menyerang figur lawan. Konten nya semakin aneh dan sangat tidak masuk akal.  

Saya tidak pernah protes sedikitpun dan suka sekali dengan quote salah satu pembaca "Mereka Ada, Tetapi Tidak Ada". Para petarung itu tidak terlihat wujudnya, tapi deru mesinnya sangat memekakkan telinga. Mereka cukup duduk di depan komputer, memencet huruf-huruf, melakukan edit dan menekan tombol 'enter'.

Di jagat yang terhubungkan oleh koneksi internet, puluhan dan ratusan twit datang silih berganti. Setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun