Secangkir teh, di sebuah kafe, di kota tua Jakarta, kemarin sore, menjadi teman ketika Baskoro memulai menceritakan kisah-kisahnya. Kisah tentang rasa kesalnya.
Kemarin sore itu, saya sempat-sempatkan menemuinya. Sudah seminggu belakangan, saban hari, saya selalu membaca pesan yang sama di gawai. "Ayo lah mas, kita nge-teh bareng lagi. Pemandangan Kota Tua menjelang malam pasti sangat istimewa."
"Tidak ada ruang sama sekali untuk pengetahuan," Baskoro memulai menceritakan kisahnya. "Sok agamis!"
"Awalnya, Saya hanya memposting bencana gempa Lombok" Baskoro melanjutkan kisahnya.
"Tetapi Ia sibuk dengan rupa-rupa dalil."
"Anita?" Aku berusaha menebak.
"Ya. Anita."
Ahhhh. Dari Anita! Saya kenal siapa Anita.
Anita, wanita yang memutuskan memakai jilbab 2 tahun lalu itu memang tampak berubah. Ia tiba-tiba menjadi sangat religius dan menyukai dakwah. Anita memang kerap menuliskan status-status tentang agama di laman facebook-nya. Itu bagus sekali, aku pikir. Tetapi, ia agaknya lupa bahwa tidak semua orang menyukai dakwah yang disampaikan dengan berlebihan dan menyindir.
Saya sendiri juga kerap merasa mual membaca status-nya. Kata-kata dalam dakwahnya selalu menyalahkan dan sarat pesan provokatif. Bagi orang penyuka dakwah model begitu, pasti akan langsung me-like.
"Saya pernah memposting artikel LGBT. Saya hanya bermaksud ingin mendapatkan pencerahan, pendapat berdasarkan pengetahuan, termasuk diskusi mengenai takdir," Baskoro menggeser kursinya. "Kalau Tuhan memberikan pilihan sebelum setiap jiwa dilahirkan, mana ada manusia memilih terlahir sebagi homo?"