Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mudik, Hikmah Idul Fitri, dan Keengganan Menjadi Pemaaf

9 Juni 2018   14:14 Diperbarui: 9 Juni 2018   21:37 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mudik adalah inkulturasi tradisi agama Islam, tetapi sekaligus pesta. Aktifitas migrasi jutaan manusia dari kota ke desa itu selalu fenomenal dan menjadi agenda tahunan yang mendapat perhatian serius dari pelbagai pihak, utamanya Pemerintah. Ia menjadi momen sangat penting dan dinanti sekaligus menjadi satu-satunya penanda uniknya perayaan hari besar keagamaan di Indonesia.

Mudik adalah rangkuman cerita. Ada manusia yang merasa sungkan dan malu jika pulang ke kampung berjalan kaki, sehingga ia harus rela memusingkan dirinya dengan cicilan motor. Ada manusia yang mencela kemacetan luar biasa dan fasilitas jalanan yang kurang, tetapi ia tetap saja pulang naik mobil dan bukan memilih kereta.

Ada juga manusia yang mengeluh soal harga tiket pesawat yang mahal, naik berlipat dari biasanya, tetapi, toh, mereka tetap saja pulang.

Di kampung, tak jarang acara reuni dengan teman dan handai taulan tiba-tiba berubah menjadi etalase dan pidato monolog tentang kesuksesannya di rantau. Meski dengan bahasa halus, tetapi tetap saja pesan itu tidak bisa disembunyikan, "Saya sekarang menjadi senior Arsitek di satu perusahaan multi nasional lohhh..."

Banyak yang sudah menuliskan kisah dan mensarikan hikmah mudik dan Idul Fitri. Tapi, tak ada salahnya, saya ingin melihat mudik dari sisi yang lain; hikmah mudik dan keengganan merubah identitas.

Kembali, mari kita sejenak melihat hikmah sebenarnya tentang mudik. Mudik sebenarnya adalah inkulturasi tradisi keagamaan yang dipraktekkan umat Muslim Indonesia. Jutaan manusia rela bersesak-sesakkan dan menghabiskan banyak biaya untuk bersilaturahmi, saling jumpa, dan memohon keluasan hati atas dosa, khilaf dan salah yang diperbuat selama setahun.

Kini, setiap menit manusia selalu berkirim kabar kepada saudaranya, teman dan handai taulan di kampung dengan bantuan gadget. Setiap hari keluarga-keluarga menengah urban di kota-kota besar gemar mem-video-kan kelucuan anak-anak mereka dan mengirimkan untuk dilihat kakek dan neneknya di kampung. 

Semua manusia, apakah dia bos atau buruh, kini bisa berkabar dan saling tanya di group Whatsapp keluarga atau teman-teman lawas. Meski teknologi sudah sedemikian maju, tetapi, toh mudik tetap saja ada. Teknologi, tampaknya, tak bisa menggantikan hasrat untuk pulang. Ya, setiap manusia memang memiliki kebutuhan rohani untuk bertemu, memohon maaf, dan meminta doa atau restu dengan mencium tangan orang tua.

Tetapi, ini lah yang ingin saya tulis, dengan membandingkan fakta saat ini, apakah memohon keluasan hati atas dosa, khilaf dan salah terhadap sesama manusia adalah sebenar-benarnya kebutuhan atau hanya sekedar tradisi belaka? Benarkah usai bertemu, bertukar senyum dan saling memaafkan, kita kemudian menjadi manusia yang pemaaf?

Masalahnya adalah begini, bukankah kita semua faham siapa diri kita sebenarnya? Kita, di depan jutaan penonton tanpa panggung, sebenarnya adalah manusia-manusia dengan rupa-rupa identitas yang tak saling akrab. 

Manusia-manusia yang suka menulis nasihat yang bersumber dari kitab Alquran dan Hadis, dan yang suka membagikan potongan tulisan dan informasi kajian islami adalah ciri manusia dengan identitas Islami. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun