Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sepi Pasca Penyerangan Lidwina, Pertanda Masyarakat Kian Dewasa?

18 Februari 2018   10:07 Diperbarui: 19 Februari 2018   06:54 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Minggu (11/2/2018) pagi pukul 07.30, masyarakat Sleman geger. Seorang pria tiba-tiba menerobos masuk dan mengamuk di Gereja Katolik St. Lidwina, Bedog, Sleman, Yogyakarta. Beberapa korban menderita luka dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit.

Penyerangan Lidwina sangat disayangkan banyak pihak dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan pluralisme yang diajarkan Alm. Gus Dur. Bagaimana tidak, penyerangan itu terjadi hanya beberapa hari sebelum acara puncak haul sewindu Alm. Gus Dur digelar di kota pelajar itu. Kabarnya haul dihadiri oleh lebih dari seribu hadirin.

Haul menjadi sangat istimewa lantaran tokoh dan pegiat lintas agama hadir di acara itu. Mereka membawa pesan tentang kemanusiaan dan semangat merawat dan melayani rupa-rupa kebudayaan, termasuk kebudayaan minoritas.

Banyak yang sepaham bahwa Alm. Gus Dur adalah tokoh dan bapak pluralis yang pernah dipunyai Indonesia. Sumbangan Pikiran-pikirannya tentang keberagaman menjadi referensi utama Islam nusantara dan buku-buku. Gus Dur dikenal sebagai guru dan penyelamat untuk semua yang dilukai.

Maka, tentu saja, penyerangan Gereja St. Lidwina itu sangat disayangkan. Belakangan, diketahui bahwa pelaku penyerangan Gereja St. Lidwina itu adalah seorang pria yang ternyata berusia sangat muda. Pelaku yang berusia 22 tahun itu mengaku motif penyerangannya adalah karena pemahaman yang salah dalam memaknai agama.

Meski pelaku telah mengaku motif penyerangan adalah karena "faktor" agama, tetapi beberapa kalangan masih menganggap bahwa penyerangan yang dilakukan pemuda itu adalah murni perkara terorisme belaka (bukan intoleransi).

Sebelumnya, peristiwa yang hampir serupa, terjadi di beberapa tempat lain pada awal tahun politik ini. Ada kekerasan yang dialami KH Umar Basri, pemimpin sebuah pondok pesantren di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Lalu ada kasus yang menimpa Komando Brigade PP Persis, Ustadz Prawoto yang meninggal dunia akibat mengalami penganiayaan oleh seorang pria.

Pada awal Februari 2018, saya juga sempat menyaksikan video seorang biksu Budha yang dipaksa meninggalkan kediamannya di Legok, Tangerang. Video ini bahkan sempat viral.

"Sedih sekali. Empat kejadian.. hampir mirip. Ada apa ya Mas?" tanya teman saya melalui pesan singkat WhatsApp.

Teman saya itu rupanya sepakat dengan pemahaman saya bahwa memang ada kemiripan antara kasus penyerangan di gereja St. Lidwina dengan tiga kisah sebelumnya. Semua kejadian tersebut menyasar emosional dalam beragama dan berpotensi membangkitkan amarah antarumat beragama dan terjadinya perpecahan.

Saya bosan dan jengah. Lagi-lagi kita disuguhi sinetron tentang pemahaman yang salah dan sempit dalam menginterpretasikan agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun