Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Balada Sang Penjahit

8 November 2017   15:54 Diperbarui: 8 November 2017   16:52 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya biasa memanggilnya pakdhe Juri. Namun, saya tidak tahu, apakah ia benar-benar kerabat kami atau apakah sebutan 'Pakdhe' itu sekedar agar kami akrab dan menghormatinya.

Ayah saya biasa menggunakan tenaga dan jasanya untuk menjahitkan baju-baju kami. Menjahitkan baju lebaran adalah order yang wajib diberikan kepadanya. Kami tak pernah bertanya, kenapa Ayah kami tidak pernah menyuruh kami menjahitkan baju ke tukang jahit lainnya.

Pakdhe Juri  yang kukenal adalah seorang bapak yang sangat pendiam. Tubuhnya sudah renta. Namun, meski rambutnya telah berwarna putih dan seluruh kulitnya sudah keriput, ia masih bekerja. Jika mengingat bagaimana ia bersyukur dan berterimakasih saat saya pamit dan memberinya ongkos, aku jadi kagum pada cara dia hidup dan memaknai hidup.

Namun, sejak sebuah mall dibangun di Kudus (kota kelahiran saya) tahun 1990, kami perlahan mulai melupakan pakdhe Juri. Kami tak pernah lagi datang ke rumahnya yang sederhana yang seluruh halamannya diteduhi rindangnya pohon jambu. Bagi saya, mall pada tahun itu, seperti gadis cantik yang berhasil merebut perhatian saya.

Suka atau tidak, kasihan atau tidak, hanya ada satu kalimat maaf "Jaman sudah berganti, Pak. Kalau Bapak tidak siap, Bapak akan tergilas."

Mall telah merebut rejeki dan menggilasnya....  

Namun, jika mengingat hidupnya sehari-hari dan kesabarannya, saya yakin ia tidak lantas mencaci maki, mengumpat dan menyalahkan ketidakbecusan pemerintah saat itu melindungi usaha menjahitnya.    

Jaman berlalu. 27 tahun kemudian...

Mall dan toko besar yang dahulu berjaya dan berhasil merebut rejeki orang lain, sekarang terjungkal. Mereka tidak kuasa melawan teknologi. Anak-anak saya sekarang juga lebih senang belanja sesuatu di online dari pada beli di toko atau mall konvensional.

Banyak media cetak (ah...mungkin bukan banyak, tetapi hanya media tertentu) dan media online kemudian menuliskan besar-besar pesan seperti ini "Mal Sepi, Daya Beli Turun" atau "Pemerintahan Saat Ini Telah Gagal" atau "Daya Beli Merosot, Bisnis Ritel Konvensional Terancam Tutup".

Namun, seperti disebutkan dalam satu warta, bahwa pada 2016, jumlah online shopper di Indonesia telah mencapai 8,7 juta orang dengan nilai transaksi sekitar 4,89 miliar dolar AS dan nilainya akan terus merangkak naik. Luar biasa besar! Di pojok ruangan ber-AC, para pelaku bisnis on-line terkekeh-kekeh dan tak memercayai berita 'Daya Beli Merosot'.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun