Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Balita dengan Popok Ajaib di Forbidden City

15 September 2011   07:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:56 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cina memang terus berubah seiring dengan kemajuan ekonomi yang melesat pesat sejakawal Dengxiaoping mulai mebuka pintu negri ini di awal dekde 1980-an. Walaupun secara politik sistem komunisme masih dianut, namun secara ekonomi, sistem terbuka ternyata mampu mendongkrak pertumbuhan double digit selama lebih dari 30 tahun terakhir ini.

Kemajuan negeri ini memang banyak dikagumi oleh seluruh dunia, namun sisi lain nya berupa melebarnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin mulai kian terasa. Banyaknya pekerja migran, kesenjangan anatara daerah pedalaman dan pesisir dan sebagainya masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah diselesaikan oleh pemimpin di negri yang berpenduduk lebih dari 1,3 milyar jiwa ini.

Forbidden City atau National Palace Museum.?

Setelah selesai mengunjungi Tienanmen Square. Perjalanan dilanjutkan kearah utara menuju Forbidden City yang sekarang disebut juga sebagai “National Palace Museum”. Apalah arti nama dalam Bahasa Inggris, toh dalam Bahasa Mandarin tempat ini tetap disebut “Gugong”.

Setelah melewati Changan Avenue yang maha lebar. Bangunan pertama yang dijumpai adalahTiananmen atauGerbang Kedamaian Langit. Di tempat ini. diproklamasikan terbentuknya Republik Rakyat Cina pada 1 Oktober 1949.

Untuk menuju Forbidden City, kita harus terus beralan ke utara. Di sini banyak sekali orang-orang yang dengan ramah menyapa kita, seperti menanyakan dari mana asal dan kemana saja tujuan wisata di Beijing. Buntut-buntutnyamereka menawarkan tur lokal ke Tembok Besar.

Akhirnya pintu gerbang selatan menuju ke Gugong pun tampak dihadapan. Namun sebelum itu , sebuah loket menjual tiket masuk tersedia dengan jelas di sebelah kanan. Harga tiket masuk tertulis 60 Yuan. Dan sebuah tiket cantik pun menjadi milik kita. Sementara itu beberapa penjual asongan juga mencoba menjual buku kecil tentang Istana terbesar di dunia yang disebut “Kota Larangan” ini.

Anak Kecil Berpopok Ajaib

Memasuki Gugong, kita akan masuk kompleks istana yang konon memilik kamar sejumlah 9999 ini. Pintu gerbang Meridian atau Pintu selatan atau disebut juga Wumen juga memiliki pintu berwarna merah dengan hiasan bundaran warna kuning emas yang berjumlah sembilan. Angka Sembilan, selain delapan memang merupakan angka yang dianggap memiliki keberuntungan dan juga simbol panjang umur dalam budaya Cina.

Setelah melewati pintu ini kita akan sampai di halaman luar dimana terdapat sebuah jembatan yang disebut “Inner Golden River Bridges”. Di sebelah kanan dan kiranya terdapat ruangan-ruangan yang besar megah dan tentu saja bersejarah. Setelah itu kalau kita terus berjalan ke utara, melewati lagi beberapa pintu gerbang dan akan sampai ke tempat kediaman Kaisar.

Setelah lelah berjalan, kami sempatbersantai di tempat duduk dari kayu berwarna coklat yang berada di dekat sebuah pintu gerbang. Suasana dalam keadaan cukup ramai, baik wisatawan domestik dan juga wisatawan mancanegara.

Sebuah rombongan keluarga wisatawan domestik Cina segera menarik perhatian saya, teutama karena anak balita yang kira-kira berusia tiga tahun. Anak ini tampak sedang sedikit rewel karena terus menangis sementara sang ibu tampak kesal sambil terus marah-marah. Sang anak memakai pakaian yang sangat unik dengan bagian bokong dan depan yang terbuka. Sangat praktis seandainya anak tersebut mau buang air, sang ibu tidak usah repot mengganti popok atau pakaian si anak. Sebuah ide cemerlang yang ekonomis walaupun kurang etis??

Kunjungan ke Gugong dilanjutkan terus. Menyusuri kamar, ruangan, lorong-lorong, dan juga taman istana yang indah. Semua tempat bisa dipandang amat menarik dan membosankan tergantung cara pandang masing-masing pengunjung.

Bagi yang kurang tertarik dengan sejarah ataupun arsitektur dan budaya, kunjungan kesini memang hanya sekedar memuaskan rasa ingin tahu akan sebuah sebuah kompleks istana yang terbesar di dunia, di ibukota negara dengan penduduk terbanyak di muka bumi ini. Bagi peminat sejarah, arsitektur, dan budaya Cina, istana ini bisa menjadi buku dan museum hidup yang tidak akan selesai dipelajari bertahun-tahun

Waralaba Internasional pun hadir di dalamForbidden City

Setelah sekitar satu jam terus berjalan, di salah satu bangunan , juga tersedia berbagai restoran, cafe, dan juga toko buku dan cendera mata. Uniknya bahkan outlet warakaba bertaraf internasional pun sudah merambah ke dalam kompleks istana yang dibangun pada awal abad ke 15 ini. Tentu saja segelas kopi dingin pun dijual dengan harga standar internasional.

Forbidden City dibangun padatahun 1407 dan sempat menjadi rumah lebih dari 14 kaisar dari Dinasti Ming dan sepuluh kaisar dari Dinasti Ching. Istana ini sempat tenar karena menjati setting film “The Last Emperor” pada akhir tahun 1980-an. Sementara Badan PBB Unesco juga telah memasukan forbidden city dalam daftar “Warisan Dunia” pada tahun 1987.

Dilema Tiket Dua Harga

Selain kisah mengenai balita berpopok ajaib, ada sebuah kejadian menarik yang bisa menjadi catatan bagi kemajuan ekonomi yang bahkan dianggap pesat. Di saat kami selesai membeli tiket cantik seharga 60 Yuan itu. Di loket sebelah, seorang lelaki umur 30 tahunan, berpenampilan sangat sederhana dan tampaknya berasal dari pedalaman Cina, tampak menggerutu. Mungkin karena telah merasa dirampok karena harus membayar sebesar 60 Yuan untuk masuk ke istana yang memang pernah menjadi pusat negri naga ini.

Kalau pada kunjungan pertama saya ke Beijing dan beberapa kota lain di Cina pada tahun 1997, diberlakukan sistem dua harga yang membedakan wisatawan asing dengan wistawan domestik.Wisatawan Cina mungkin hanya membayar sebesar 5 atau 10 Yuan, sementara wisatawan asing membayar jauh kebih mahal.

Bahkan “rakyat” Cina yang disebut sebagai kompatriot dari Hongkong, Macau, danTaiwan juga diklasifikasikan sebagai wisatawan asing sehingga harus “dihukum “ dengan membayar tiket yang harganya jauh lebih mahal.

Sekarang dengan makin majunya perekoniman Cina, sistem itu tampaknya mulai ditinggalkan dan kebijakan satu harga mulai diterapkan. Untuk sebagian rakyat Cina yang mulai makmur, harga 60 Yuan memang bukan apa-apa. Tetapi ternyata masih banyak rakyat Cina yang menggerutu dan merasa “dirampok”ketika harus membeli tiket semahal itu.?

Nampaknya sebuah penelitian khusus perlu diadakan untuk membahas tuntas masalah ini.?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun