Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menyusuri Malioboro Bersama Bakpia, Lunpia, dan Ronde

16 September 2025   19:25 Diperbarui: 16 September 2025   20:06 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malioboro oh Malioboro, entah sudah berapa ribu kali saya mampir ke jalan ini sejak hampir lima dasawarsa lalu. Tetapi setiap mampir ke Yogya, rasanya belum puas kalau tidak sejenak napak tilas nama jalan yang hanya ada di kota ini.
Malioboro selalu punya cara untuk membuat siapa pun merasa sedang berada di pusat dunia. Pagi itu, saya berdiri di Nol Kilometer Yogyakarta. Dari titik inilah orang sering mengukur jarak dan arah, tapi bagi saya, Nol Kilometer lebih dari sekadar patok jalan: ia semacam jantung kota yang berdetak sejak berabad lalu. Gedung Bank Indonesia berdiri anggun di satu sisi, Kantor Pos Besar di sisi lain. Bangunan kolonial itu seakan menjadi panggung awal sebelum langkah-langkah kecil saya memasuki jalan legendaris: Malioboro.

Vredeberg: dokpri 
Vredeberg: dokpri 

Saya juga sempat mengintip wajah Benteng Fredeburg yang kini menjadi museum dan saya sangat suka karena bisa masuk ke dalamnya dengan gratis cukup menunjukkan KTP. Bisa hanya untuk mampir ke toilet atau menu lah ke mushola saja.
Di depannya saya melihat Gedung Agung atau nama resminya Istana Kepresidenan. Di pagarnya yang selalu tertutup ada tulisan: "Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia maju," dalam rangka memperingati 80 tahun Republik Indonesia.
Saya mulai berjalan, pelan, mengikuti arus manusia yang entah dari mana datangnya. Turis asing sibuk memotret, sepasang remaja asyik  bergandengan, dan pedagang asongan menawarkan dagangan. Udara masih bercampur antara aroma keringat, parfum murah, dan asap becak motor. Suara klakson becak dan bunyi derap kaki kuda andong menambah simfoni khas Malioboro. Dari sini, perjalanan bukan hanya soal menempuh jarak, tapi juga menyingkap lapis-lapis sejarah yang kadang samar.

Pasar Beringharjo: Batik dan Obat Cina
Tak jauh dari Nol Kilometer, saya sampai di Pasar Beringharjo. Dari luar, pasar ini tampak megah dengan arsitektur kolonial yang sudah berumur. Begitu masuk, hawa berubah drastis. Batik membanjiri mata: dari kain halus tulis sampai cap dengan motif parang, kawung, atau bunga. Pedagang berteriak menawarkan harga miring, dan pembeli sibuk menawar. Namun, kalau menelusuri lebih dalam, pasar ini tidak hanya soal batik.
Di salah satu sudut, saya melihat toko jamu dan obat-obatan. Rak-raknya penuh dengan botol kecil berlabel aksara Mandarin. Ada minyak angin, pil herbal, dan bubuk yang katanya mujarab untuk masuk angin atau pegal-pegal. Bau rempah bercampur aroma khas ginseng dan jamur kering. Saya merasa sedang berada di tengah lorong pasar di Guangzhou, bukan di Yogyakarta. Di sinilah saya sadar: Beringharjo adalah ruang Jawa sekaligus ruang Tionghoa. Batik dan jamu Jawa berdampingan dengan obat Cina, seolah menyiratkan bahwa kesehatan dan kebudayaan tak pernah mengenal batas etnis. Dan tentu saja setiap ke sini saya tidak lupa mampir ke warung Jenang favorit di dekat pintu arah selatan.

Hamzah Batik: dokpri 
Hamzah Batik: dokpri 

Hamzah Batik: Akulturasi di Etalase

Keluar dari Beringharjo, saya melangkah menuju sebuah toko besar yang dulu dikenal dengan nama Mirota Batik, kini Hamzah Batik. Dari luar, toko ini tampak biasa saja: papan nama besar, pintu masuk berlapis kaca. Tapi begitu masuk, saya merasa seperti memasuki museum kecil. Interiornya penuh ornamen Jawa, gamelan menghiasi sudut, dan aroma dupa lembut menyelimuti udara.
Terkadang saya mampir ke sini hanya untuk minum sebatok jamu beras kencur atau kunyit asam seharga 3000 rupiah saja. Atau sesekali jumlahnya ke toilet atau bahkan menikmati makan siang di resto Raminten dengan pramusaji yang cantik kemayu dan gemulai manja.
Di sinilah saya kembali menemukan akulturasi budaya yang kental. Batik Jawa menjadi primadona, tapi di rak lain ada aneka camilan, termasuk bakpia. Seolah Hamzah Batik ingin menegaskan bahwa Yogyakarta bukan hanya soal batik, melainkan juga kuliner yang akarnya pun menyeberang dari Tiongkok.

Baca juga: Joko Tingkir Bag 15

Bakpia: dokpri 
Bakpia: dokpri 

Bakpia, Bakpia, Bakpia
Begitu keluar dari toko itu, langkah saya kembali ke trotoar. Dan di sinilah, fenomena itu hadir dengan jelas: toko bakpia berjejer hampir di setiap blok. Ada Bakpia Pathok, Bakpia 25, Bakpia 75, Bakpia Kurnia Sari, dan entah berapa lagi yang lain. Plang neon, banner promosi, hingga brosur yang dibagikan anak muda berseragam rapi, semuanya menggaungkan satu kata: bakpia.
Ironisnya, bakpia yang kini dielu-elukan sebagai oleh-oleh khas Yogyakarta sejatinya bukan "asli" Jawa. Kata pia sendiri berasal dari Tiongkok, dengan akar resep kue kacang hijau yang dibawa oleh perantau Hokkian. Lama-lama, resep itu diadaptasi. Ukuran diperkecil, kulit dibuat lebih tipis, dan isian bukan hanya kacang hijau tapi juga keju, cokelat, bahkan tiramisu. Jogja kemudian menamainya bakpia pathok, mengambil nama kampung tempat produksi massalnya.
Saat saya berjalan melewati deretan toko itu, saya merenung: bukankah ini bukti nyata bahwa Jogja mewarisi Tionghoa? Kue dari daratan jauh kini menjadi identitas lokal. Bahkan, ada wisatawan yang berkata, "Kalau ke Jogja, pulang tanpa bakpia itu seperti dosa." Betapa uniknya sejarah: sesuatu yang datang sebagai tamu akhirnya diangkat sebagai tuan rumah.

Pencak silat: dokpri 
Pencak silat: dokpri 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun