"Kota adalah kumpulan rumah dan jalan. Tapi kenangan adalah kumpulan langkah dan nama."
Pagi itu, udara Bandung mulai hangat. Jam belum sepenuhnya menunjukkan pukul delapan ketika saya keluar dari Holiday Inn Pasteur, menapaki trotoar yang tidak teratur atau bahkan tidak ada. Suasana jalanan lumayan lengang, maklum di akhir pekan. Lalu lintas baru menggeliat, dan di sekitar lumayan banyak pedagang kaki lima. Ada bubur ayam, nasi kuning dan surabi.
Tak ada rencana besar pagi itu, hanya satu tujuan kecil yang tiba-tiba muncul di kepala: ziarah ke Pemakaman Kristen Pandu. Entah kenapa nama itu datang kembali ke ingatan---mungkin karena dulu, sekitar empat puluh tahun lalu, ketika saya masih tinggal di Sukagalih dan bekerja di Nurtanio, saya pernah melintasi kawasan ini.
Saat itu, hampir setiap hari saya berjalan kaki dari arah Sukagalih menuju jalan Pajajaran via Terusan Pasteur, menyusuri jalan kecil yang tembus ke makam Muslim Sirnaraga, lalu menyelinap lewat gang-gang, melewati wilayah Pandu yang senyap. Sebuah ritual diam-diam yang dulu tak saya pikirkan, kini tiba-tiba memanggil kembali.
Dan saya pun melangkah pagi itu, menuju tempat yang dulu pernah saya lintasi begitu saja: Pandu.
Jalan Menuju Makam
Saya berjalan melewati jembatan penyeberangan yang sepi. Melewati deretan kantor travel dan toko oleh-oleh. Makanan khas Bandung. Saya kemudian belok ke sebuah gang kecil yang nyaris tak terlihat dari jalan utama. Gang itu sempit, dan di kanan-kirinya ada rumah-rumah padat yang berdiri berimpitan dengan tembok makam. Sebagian rumah bahkan dibangun di atas bagian makam lama, menyisakan nisan-nisan tua yang seperti menyembul dari tanah halaman.
Saya bahkan melihat seseorang tidur di atas lempengan marmer, mungkin karena semalam terlalu panas di dalam rumah. Aneh, tapi nyata.