Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Rel, Rasa, dan Rindu Mudik Lewat Jalur Kenangan

13 Mei 2025   13:29 Diperbarui: 13 Mei 2025   13:45 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerbong KAI : skrinsyut/tangkapan layar

"Dudu kutha kelairan, nanging panggonan sing maringi eling lan rasa."
(Bukan kota kelahiran, tapi tempat yang memberi kenangan dan rasa.)

Lebaran , saya kembali ke Yogyakarta. Meski bukan tanah kelahiran saya, kota ini tetap punya tempat yang tak tergantikan di hati. Yogya adalah tempat saya tumbuh remaja dan dewasa. Meski rumah saya kini di kota lain, Yogyakarta adalah rumah kedua yang selalu menunggu dengan kenangan-kenangan lama. Ketika waktu datang untuk mudik, saya tahu, selain kampung kelahiran, ada satu tempat alternatif yang akan saya tuju: Yogyakarta.

Berburu Tiket: Adrenalin Tengah Malam
Tiket kereta Lebaran---sebuah perburuan yang selalu mendebarkan. 45 hari sebelumnya, saya sudah mempersiapkan diri. Siapkan ponsel, laptop, dan buka berbagai aplikasi KAI. Pukul 00.01 tepat, saya menekan tombol untuk memesan tiket. Ada rasa tegang yang menyertai setiap klik, meskipun saya sudah hafal betul dengan prosesnya. Tiket Lebaran selalu jadi barang langka, dan persaingan ketat. Saya berharap bisa mendapatkan tempat duduk di kereta Fajar Utama ,yang melayani rute Bekasi ---Tugu, karena itu yang paling nyaman.
Sempat terjebak di aplikasi yang tidak responsif, tapi akhirnya saya berhasil mendapatkan tiket! Tiket  untuk kami sekeluarga . Itu rasanya seperti kemenangan kecil, setidaknya dalam hal perburuan tiket Lebaran. Beberapa tahun sebelumnya, mencari tiket kereta bisa jadi lebih membingungkan---sekarang lebih mudah dengan aplikasi, meskipun tantangannya tetap ada: kecepatan dan ketepatan saat memesan. Dan juga hoki alias keberuntungan.

Perjalanan yang Mengalir: Kereta yang Membawa Kenangan
Hari keberangkatan tiba. Kami naik kereta dari Stasiun Bekasi, meskipun sebenarnya Stasiun Gambir  dulu lebih banyak kenangan untuk saya. Sejak saya sekolah di Yogya, Gambir adalah titik awal yang tak pernah lupa. Ada aroma nostalgia yang mengingatkan saya pada perjalanan-perjalanan lain yang pernah saya lakukan dengan keluarga atau teman-teman semasa muda. Dulu, dengan ongkos hanya sekitar dua ribu rupiah, kita naik kereta ekonomi, dengan kursi rotan, tanpa AC, dan sesekali kipas angin di  langit-langit yang tak berfungsi dengan baik. Satu paket pengalaman yang mungkin dirindukan oleh beberapa orang, tetapi tak bisa dipungkiri kalau kenyamanan dan keamanan kini lebih terjaga.
Sekarang, walau harga tiketnya ratusan ribu rupiah,  kereta yang kami tumpangi dilengkapi AC yang nyaman, kursi yang  empuk, dan bahkan ada colokan listrik di setiap tempat duduk. Face recognition memudahkan kami naik tanpa harus antri panjang untuk cek manual. Makanan dan minuman bisa dipesan dengan mudah melalui aplikasi di ponsel. Semua serba modern, tetapi tetap ada kenangan masa lalu yang melintas setiap kali kereta melaju.
Dari Bekasi, kereta melaju menuju Cirebon, Purwokerto, dan Kutoarjo, hingga akhirnya tiba di Stasiun Tugu---titik tujuan yang sudah saya kenal baik. Meskipun banyak yang berubah, ada satu hal yang tetap sama: perasaan "pulang" yang tak tergantikan.

Seperti Dulu: Kenangan yang Kembali Hidup
Yogyakarta selalu menyambut kami dengan kehangatannya. Kami turun di Stasiun Tugu, tempat di mana kami mengawali perjalanan menuju rumah. Berbeda dengan dulu yang penuh kenangan, Stasiun Tugu kini tampak lebih modern. Di luar stasiun, suasana keramaian tidak pernah hilang. Banyak tukang becak, pedagang kaki lima, dan orang-orang yang lalu lalang, membuat saya merasa seperti kembali ke masa lalu, meski dalam setting yang lebih baru.

Setiap sudut Yogya selalu mengingatkan saya pada kenangan masa kecil dan remaja. Setelah turun dari kereta, kami naik taksi daring ke Taman Sari, menuju rumah peninggalan orang tua pasangan saya. Dulu, rumah itu penuh dengan suara riuh anak-anak dan saudara yang datang berkunjung. Namun, kini rumah itu lebih sepi. Beberapa anggota keluarga sudah pergi, orang tua sudah berpulang, tetapi rumah itu tetap menyimpan banyak cerita yang tak pernah hilang.

Kami duduk-duduk di teras rumah, menghirup udara pagi yang segar. Ada aroma kenangan yang samar-samar mengalir. Bahkan meskipun rumahnya tampak lebih tua, kenangan yang hidup di sana tak pernah pudar.
Kami mengajak anak-anak untuk melihat-lihat tempat-tempat yang dulu saya kenal. Malioboro, Pasar Beringharjo dan juga Pasar Ngasem. Selain itu, Alun-Alun Kidul masih menjadi tempat yang selalu saya rindukan, dan malam itu, kami membawa anak-anak naik odong-odong berkeliling dan mencoba berjalan di diantara  dua beringin dengan mata tertutup sapu tangan hitam. Tertawa, bercerita, dan menikmati momen yang terasa seperti menghidupkan kembali masa lalu.

Tak Hanya Pulang, Tapi Juga Kembali pada Diri
Yogyakarta adalah tempat yang membentuk saya. Di sini saya menuntut ilmu, membuat kenangan pertama, berteman, dan menemukan banyak hal tentang hidup yang tidak bisa saya temui di tempat lain. Kota ini, meskipun bukan tempat kelahiran saya, tetap memiliki tempat khusus yang tak tergantikan. Seiring berjalannya waktu, meskipun rumah berubah, namun jalinan kenangan dan hubungan dengan tempat ini tak pernah pudar.

Mudik bisa berarti bertemu teman-teman lama, keluarga besar yang datang dari berbagai tempat. Di sinilah tempat kita mengenal pentingnya hubungan keluarga, keakraban antar saudara, dan nilai-nilai yang dibawa sepanjang hidup.

Menghargai Perubahan: KAI dan Kenangan yang Diperbaharui
Saya tak bisa menutup mata bahwa banyak yang berubah, termasuk cara kita melakukan perjalanan. KAI dengan inovasinya, menjadikan perjalanan jauh lebih nyaman, meskipun kehilangan beberapa 'rasa' lama. Namun, saya belajar satu hal: perubahan bukan selalu untuk dilawan, tapi untuk dinikmati.
Tentu saja nama KAI pun bukan lagi nama yang dulu. bukankah namanya  sempat berevolusi dari DKA, PJKA, PNKA atau juga Perumka? Tetapi perubahan adalah esensi kehidupan itu sendiri. Yang jelas KAI sekarang sudah menyediakan layanan yang lebih mudah dan nyaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun