Siang menjelang senja itu, mantap langkah saya meninggalkan toko Loja do bairro mais perto de si dan warung apel di Avenida Reasano Garcia---di ransel ada sebungkus apel dan sebuah gunting kuku yang bertuliskan bahasa Spanyol namun hecho en China alias made in China. Tak jauh dari situ, di toko buah kecil saya ditawari irisan apel manis yang katanya "fresquinho, chegou esta manh!"---segar, baru datang pagi ini. Sambil mengangguk, saya menyelipkan senyum dan membalas dengan pelafalan kaku, "Obrigado."
Dengan langkah santai menyusuri trotoar lebar menuju selatan. Matahari tidak terik, tapi cukup hangat untuk membuat jaket terasa sedikit berlebihan. Di seberang , El Corte Ingles tampak menjulang---sebuah bangunan modern yang mengilap, hampir steril dari sejarah, namun tetap menjadi mercu orientasi warga kota. El Corte Ingles, sebuah department store asal Spanyol yang pertama kali saya kenal di Madrid di ujung abad lampau, ternyata ada juga di Portugal.
Kali ini, saya hanya lewat, menatap sejenak pintu otomatis yang terbuka dan tertutup tanpa suara. Suasana di dalam tampak ramai---pakaian, wewangian, dan deretan eskalator seakan mewakili versi cepat dari kota yang sedang saya jelajahi dengan santai.
Tinggal menyebrang Avenida Antonio Augusto de Aguillar, saya tiba di stasiun Sao Sebastiao---persimpangan dua jalur metro yang dalam dan dingin. Tapi justru di kedalaman itulah kota memberi kejutan: mural-mural luas menghiasi dinding stasiun, sebagian besar karya seniman kontemporer Portugal. Ada potret abstrak dari tokoh-tokoh sastra seperti Fernando Pessoa dan Sophia de Mello Breyner, bercampur pola azulejo biru dan keemasan yang seakan merayakan sejarah maritim.
Di lantai dan langit-langit, bentuk-bentuk geometris seakan bergerak setiap kali kereta datang dan pergi.
Saya berhenti sejenak, menyusuri mural dengan mata. Tidak ada label, tidak ada paksaan untuk mengerti. Hanya warna-warna dan garis-garis yang bicara pelan tentang kota yang terus tumbuh tanpa melupakan jejaknya.
Saat hendak turun ke peron, seorang wanita muda sedang duduk di bangku dengan tas belanja plastik di pangkuannya. Ia menatap sebentar, lalu tersenyum dan bertanya, "Est perdido?" --- "Tersesat, ya?"
Saya tertawa kecil, hanya menjawab “Nao.”
Turun ke peron, saya lalu menaiki metro jalur biru menuju pusat kota. Metro menembus perut bumi dan melaju dari SaoSebastiai ke Parque, lalu ke Picoas, Marqus de Pombal, Avenida, dan akhirnya tiba di Restauradores.