:
Bertemu Luis de Cames, dari Makau hingga Lisboa
Setelah sejenak ngobrol dengan Nuno, sang pemandu wisata dan beberapa orang lain, saya memutuskan untuk sekedar jalan-jalan sendiri melihat suasana di Praca de Luis Camoes ini. Praca yang kadang kadang juga disebut Largo de Luis Camoes ini sebenarnya terletak di kawasan Chiado atau tepatnya perbatasan denga Bairro Alto.
Langit Lisboa siang itu bersih dan teduh, seperti halaman kosong yang menunggu ditulisi puisi. Lapangan ini dikelilingi bangunan-bangunan berfasad klasik dan deretan kafe penuh warna. Di tengahnya, berdiri sebuah tugu megah memperingati sang penyair terbesar Portugal---Lus de Cames, sang penyair yang menjelmakan jiwa bangsa dalam bait-bait panjang Os Lusadas.
Monumen itu menjulang, Cames berdiri gagah di puncaknya. Tangan kanannya memegang pedang yang terhunus sedangkan tangan kirinya memegang naskah salah satu mahakarya yang paling monumental dalam sastra Portugal. Apalagi kalau bukan Os Lusiadas.
Patung Camoes ini dikelilingi oleh delapan sosok melingkar di bawahnya, tokoh-tokoh sastra dan ilmu pengetahuan Portugal, mengelilinginya seperti bintang mengelilingi matahari. Namun nama-namanya kurang saya kenal.
Di sekitar Praca ini, trem kuning---trem legendaris nomor 28--- mendesah pelan melintasi lintasan yang membelah alun-alun. Sesekali trem merah lewat, membawa para pelancong yang ingin menjelajahi kota tua dengan lebih perlahan, dengan mata dan hati yang terbuka. Trem di kawasan ini di Lisboa memang terkenal sebagai angkutan wisata dibandingkan alat transportasi.
Saya berdiri diam sejenak, nama Camoes mengingatkan saya akan pertemuan dengan nama ini di tempat yang jauh---Macau. Di sebuah gua kecil bernama Cames Grotto, saya pernah duduk sendirian membaca sebaris puisinya yang terpahat di batu. Mahakarya Os Lusiadas sendiri memang ditulis di Makau dan diterbitkan pada 1572. Hari ini, bait itu kembali mengalir:
"Transforma-se o amador na cousa amada,
Por virtude do muito imaginar..."
Sang pecinta berubah menjadi yang dicintainya,
Karena kekuatan dari terlalu sering membayangkannya...
Lisboa bukan hanya kota tempat sejarah berdiri, tapi juga tempat kenangan meresap ke dalam batu. Dan di Praa de Cames ini, saya merasa telah kembali ke titik pertemuan antara puisi dan perjalanan. Saya membayangkan perkenalan dengan penyair bermata satu ini semakin mendalam setelah pertemuan pertama di Makau dulu.
Sebelum tur dilanjutkan. Saya memutuskan untuk berjalan sendiri menuruni jalan-jalan kecil yahg berliku membentuk labirin kota. Kios-kios menjual azulejo, petak-petak keramik berpola biru putih. Bau kopi dari kedai pastelaria menembus udara, menggoda setiap langkah. Saya sempat membeli beberapa keping azulejo yang cantik dan mungil.