Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kisah di Balik Pohon Tumbang di Makam Belanda di Kebun Raya Bogor

14 April 2025   07:57 Diperbarui: 14 April 2025   07:57 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau dihitung-hitung sudah cukup sering saya berkunjung ke Kebun Raya Bogor, sejak pengunjung masih bisa bawa kendaraan roda empat ke dalam dan mampir ke banyak tempat hingga akhirnya hanya sepeda (pribadi dan sewaan) serta kendaraan listrik sewaan yang boleh wara wiri.

Ecodome: dokpri 
Ecodome: dokpri 

Pagi itu, berdua dengan keponakan yang baru datang dari Malaysia, saya mengayuh sepeda dari Hotel Ibis Styles Pajajaran menuju salah satu pintu masuk ke KBB.
Sepeda itu dapat kami pinjam dengan gratis dari hotel.  Ah ternyata pintu 3 jaraknya sangat dekat dari hotel dengan naik sepeda kurang dari 5 menit. Itu pun karena harus menyebrang jalan.

Di pintu masuk saya membeli tiket untuk berdua harga nya 91 ribu yaitu 51 ribu untuk tiket masuk  dan 40 ribu untuk dua sepeda. Bisa bayar menggunakan QR saja dan tampaknya memang tidak menerima uang tunai ? Pintu 3 ini letaknya tidak jauh dari Astrid Boulevard yang terkenal dan sangat cantik. Jalan ibu dinamakan berdasarkan kunjungan Ratu Astrid dari Belgia pada 1928.

Lalu kemana saja jika ke Kebun Raya? Tentu saja kami mampir ke banyak tempat seperti taman obat, taman akuatik, ecodome, taman Mxico, monumen Lady Raffles, Taman Teratai dan masih banyak lagi. Sekalian nostalgia merangkap jadi pemandu wisata dadakan buat turis Malaysia yang masih remaja.

Belakang istana: dokpri 
Belakang istana: dokpri 

Namun ada satu tempat yang tidak pernah dilewatkan jika ke KRB. Tidak lain dan tidak bukan adalah Makam Belanda. Saya tidak tahu mengapa, seakan akan ada yang memanggil untuk kembali ke tempat ini.  
Rumpun bambu yang sangat rimbun menyambut kami. Bahkan daunnya berjuntai hingga menyentuh wajah. Melihat daun bambu, saya juga ingat makanan favorit yaitu bacang. Di salah satu jalan, reruntuhan batang dan daun pohon menghalangi jalan sehingga kami harus memutar untuk menuju ke makam.

Setiap kali ke sana, saya seperti masuk ke lorong waktu. Deretan batu nisan tua dengan ukiran nama-nama Eropa, tanggal wafat abad ke-18 atau 19, dan kalimat perpisahan dalam bahasa Belanda yang puitis dan terkadang merupakan kutipan dari kitab suci. Tapi kali ini ada yang berbeda. Saya tertegun melihat beberapa makam rusak parah. Ada yang pecah, ada yang roboh, bahkan ada yang tertutup reruntuhan pohon tumbang.

Makam yg rusak : dokpri 
Makam yg rusak : dokpri 

Ketika saya melihat mamang penjaga makam yang sedang membersihkan rumput, saya langsung bertanya mengapa makam makam ini dibongkar.
"Makam ini bukan dibongkar, tapi rusak karena kejatuhan pohon besar karena hujan angin." Demikian jawab petugas  tersebut sambil menunjukan potongan gelondongan kayu yang diameternya lumayan besar di pojokan. Mamang  juga menunjukkan sisa pohon yang tumbang. Wah pantas ada beberapa makam yang rusak.

Ternyata kejadiannya sudah lebih dua bulan pada akhir Januari lalu.
Saya mendekati makam yang paling rusak namun masih terbaca jelas batu nisan dan tulisannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun