Dalam beberapa hari terakhir, antrean panjang masyarakat untuk mendapatkan gas elpiji 3 kg (gas melon) menjadi pemandangan yang semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kebijakan terbaru yang melarang penjualan gas melon di pengecer dan hanya memperbolehkannya dijual di pangkalan resmi menyebabkan kelangkaan di tingkat konsumen. Akibatnya, warga harus rela mengantre berjam-jam, bahkan sejak dini hari, demi mendapatkan satu tabung gas bersubsidi.
Fenomena ini bukan sekadar soal kelangkaan barang, tetapi juga mencerminkan masalah mendalam dalam tata kelola energi dan kebijakan distribusi yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Mengapa Gas Melon Menjadi Langka?
1.Pembatasan Penjualan di Pangkalan
Sebelumnya, masyarakat bisa mendapatkan gas melon dengan mudah di pengecer terdekat, meskipun dengan harga sedikit lebih tinggi. Namun, setelah aturan yang melarang penjualan di pengecer diterapkan, seluruh pembelian harus dilakukan di pangkalan resmi. Ini menciptakan bottleneck, di mana jumlah pangkalan tidak sebanding dengan jumlah konsumen yang membutuhkan gas, menyebabkan antrean panjang dan keterbatasan stok.
2.Tidak Meratanya Distribusi Pangkalan
Pangkalan resmi tidak selalu tersedia di setiap lingkungan atau desa. Di daerah yang jauh dari pangkalan, warga harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mendapatkan gas melon, yang sebelumnya bisa mereka beli dengan mudah di pengecer terdekat.
3.Keterbatasan Kuota di Pangkalan
Setiap pangkalan memiliki kuota terbatas, sementara permintaan tetap tinggi. Ini membuat stok cepat habis, sehingga banyak warga yang tidak kebagian gas, meskipun mereka sudah mengantre lama.
4.Peningkatan Permintaan Akibat Kenaikan Harga Gas Non-Subsidi
Dengan naiknya harga gas elpiji nonsubsidi, banyak keluarga dan usaha kecil yang beralih menggunakan gas melon, meningkatkan tekanan terhadap stok yang sudah terbatas.
Kebijakan yang Tak Berpihak pada Rakyat Kecil
Larangan penjualan gas melon di pengecer dilakukan dengan alasan agar subsidi lebih tepat sasaran dan untuk mengurangi praktik spekulasi harga di tingkat pengecer. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini justru menyulitkan masyarakat kecil yang bergantung pada gas melon untuk kebutuhan sehari-hari.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk sistem kapitalis seperti Amerika atau komunis seperti China, kebijakan energi di sana lebih terstruktur untuk memastikan kebutuhan dasar rakyat tetap terpenuhi. Di Indonesia, ironisnya, kebijakan sering kali lebih menyulitkan rakyat kecil daripada memberikan solusi nyata.
Mengapa kebijakan ini terkesan Tidak Berpihak ke Rakyat ?
1.Mengorbankan Kemudahan Rakyat Demi Regulasi yang Kaku
Dalam sistem yang berpihak pada rakyat, distribusi kebutuhan dasar harus dilakukan dengan pendekatan fleksibel agar mudah diakses oleh masyarakat. Melarang penjualan di pengecer tanpa menyediakan solusi distribusi yang lebih baik justru menciptakan masalah baru.
2.Tidak Mengantisipasi Dampak di Lapangan
Kebijakan ini dibuat tanpa mempertimbangkan bagaimana akses masyarakat terhadap pangkalan yang terbatas. Alih-alih memastikan subsidi tepat sasaran, justru banyak warga yang kesulitan mendapatkan gas karena stok di pangkalan cepat habis.
3.Memindahkan Masalah Tanpa Menyelesaikannya
Sebelum kebijakan ini diterapkan, pengecer memang mengambil keuntungan dengan menaikkan harga. Namun, mereka juga berfungsi sebagai distributor tambahan yang mempermudah akses bagi masyarakat. Dengan menghilangkan pengecer tanpa menambah jumlah pangkalan atau memperbaiki sistem distribusi, masalah kelangkaan dan antrean justru semakin parah.
4.Mengabaikan Peran Ekonomi Informal
Banyak pengecer adalah usaha kecil yang menggantungkan hidup mereka dari penjualan gas melon. Kebijakan ini tidak hanya menyulitkan konsumen, tetapi juga menghancurkan sumber pendapatan bagi banyak orang yang selama ini menjalankan usaha kecil sebagai pengecer gas.
Solusi: Bagaimana Seharusnya Pemerintah Bertindak?