Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Diusulkan Mendapat Oscar, Film Armenia Ini Mungkin Tidak Lolos Sensor di Indonesia

28 Juni 2022   09:42 Diperbarui: 28 Juni 2022   10:21 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Songs of Solomon:  Dokpri Screenshot

Penayangan Europe on Screen 2022 secara offline di berbagai tempat baik Goethehaus, Erasmus Huis, IInstitut Franais d'Indonsie, Istituto Italiano di Cultura dan berbagai tempat lain memang sudah berakhir pada 26 Juni 2022, namun deretan film dari negeri Eropa nan menawan dan jarang bisa disaksikan di bioskop masih tersedia secara daring sampai 30 Juni nanti.

Saya baru saja menonton sebuah film dari Armenia, negeri di Kaukasus  secara daring. Film ini berjudul Songs of Solomon dan benar-benar mencekam sehingga saya tidak bisa berkedip dari layar komputer dari awal hingga akhir.

Film dimulai dengan narasi Sevil seorang perempuan Turki, yang mengisahkan persahabatan sejak masa kecil hingga dewasa dengan dua sahabat karibnya yang etnis Armenia yaitu Sona dan Solomon.  Lalu ditayangkan juga pertemuan terakhir Sevil dan Solomon dalam konser pada 1915 di Istanbul, tepat sebelum Genosida Armenia Meletus.

Kemudian layer membawa kita menyaksikan masa kecil Sevil, Sona dan Solomon ke sebuah kota kecil, Katouna  di Anatolia pada 1881 . Sevil yang etnis Turki dan beragama Islam serta Sona dan Solomon yang etnis Armenia dan beragama Kristen Ortodoks.  Digambarkan oleh Sevil saat itu kebencian dan kecurigaan belum ada dan mereka dapat hidup berdampingan dengan damai.  

Film ini berdasarkan sebuah kisah nyata yang dituturkan oleh Sylvia Kavoukjian dan Solomon  atau Soghomon ini kemudian terkenal sebagai etnomusikolog dan pendiri Armenian  National School of music sekaligus juga seorang pendeta, penyanyi dan penggubah lagu. Film ini memang dibuat untuk mengenang tokoh nyata tersebut.    

Solomon digambarkan sebagai anak yatim piatu yang tinggal bersama neneknya yang buta. Dia miskin namun memiliki suara emas dan bakat music yang luar biasa hingga akhirnya diambil oleh uskup untuk belajar musik di seminari.   Kita akan dibuat kagum dengan sinematografi yang menggambarkan desa dan perumahan di Anatolia pada akhir abad ke 19. Saya sendiri sangat terkesan dengan gambar kawanan domba yang kembali pulang dengan latar belakang rerumputan hijau ke kuningan yang diambil dari udara. 

Waktu terus berlalu, tiga belas tahun kemudian, Sevil dan Sona sudah dewasa dan bahkan kemudian keduanya menikah. Sevil dengan Osman yang merupakan seorang prajurit dengan pangkat kapten sedangkan Sona dengan Sarkis yang menjadi pengrajin keramik.  

Tahun 1894 juga merupakan salah satu sejarah kelam buat etnis Armenia. Digambarkan bahwa situasi sosial dan politik yang sangat mencekam karena etnis Armenia dianggap tidak setia kepada Ottoman Empire sementara mereka sendiri sebenarnya merupakan kelompok etnis yang terdiri dari kaum intelektual, professional dan bahkan dianggap menguasai sebagian perekonomian pada saat itu.  

Akibatnya banyak timbul kerusuhan yang juga didukung oleh pemerintah Sultan Abdul Hamid II sehingga disebut sebagai Hamidian Massacre dalam catatan sejarah. Peristiwa ini kemudian diikuti dengan tragedi yang lenbih massif lagi dua dekade berikutnya yaotu Armenian Genocide pada 1915 yang hingga kini menjadi kontroversi antara Turki dan Armenia.  Dalam film ini digambarkan secara sangat menyentuh tentang kekejaman seorang kolonel Turki yang memperlakukan Sarkis secara sewenang-wenang dengan menghancurkan barang-barang keramik di gerainya. Dan juga adegan penangkapan  Sarkis hingga tragedi yang terjadi pada Sona dan Osman yang harus meregang nyawa.   Rasa takut yang digambarkan dalam film ini sangat nyata dan mencekam.

Sebagai penonton, tentunya kita patut bersimpati bagi nilai-nilai kemanusiaan yang diusung film ini. Namun perlu juga diingat bahwa film ini dibuat sesuai dengan versi Armenia yang kebetulan berperan sebagai korban.  Tidak usah kaget dan kecewa kalau tentara Ottoman dianggap sebagai penjajah yang kejam dan jahat seperti juga film-film Indonesia selalu  menggambarkan Belanda dan Kompeni yang kejam dan jahat.

Namun adegan demi adegan dalam film ini, terasa begitu menyentuh dan nyata belum lagi diiringi dengan alunan lagu Armenia yang mendayu-dayu.

Film Songs of Solomon yang diajukan Armenia sebagai Best International Feature pada Academy Award 2021 ini mungkin tidak akan lolos sensor di Indonesia karena mengusung tema yang bisa menimbulkan banyak kontroversi.  

Lalu bagaimana dengan nasib Solomon, Sevil dan juga anak Sona yang dititipkan kepada Sevil? Akhir kisah persahabatan sejak masa kanak-kanak hingga dewasa dari tokoh utama yang berbeda etnis dan agama, namun terjebak dalam situasi sosial dan politik yang mengerikan pada suatu periode kelam dalam sejarah Armenia dan juga Dinasti Usmaniyah dapat disaksikan secara daring di EOS 2022 melalui festivalsope.com

Judul : Songs of Solomon   (2019)

Sutradara : Arman Nshanian.

Berdasarkan  : "The Past Unsung" oleh Sirvart Kavoukjian.

Para Pemain:

Samvel Tadevossian (Solomon dewasa)

 Arevik Gevorgyan (Sevil) ,

Tatev Hovakimyan (Sona),

Sos Janibekyan (Sarkis),

Arman Nshanian, (Osman)  

Artashes Aleksanyan (Kolonel Abdullah),

Slava Seyranyan (Solomon kecil)

Durasi: 1 jam 43 menit

Bahasa : Armenia denga teks Inggris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun