Mohon tunggu...
taufik hidayat
taufik hidayat Mohon Tunggu... Lainnya - Aktivis politik dan penggiat pendidikan

Pernah menjadi anggota DPRD Kota Banjarmasin periode 1997-1999, 1999-2004 dan ketua DPRD Kota Banjarmasin periode 2004-2009. Sekarang aktif sebagai ketua BPPMNU (Badan Pelaksana Pendidikan Ma'arif NU) Kota Banjarmasin dan ketua Yayasan Pendidikan Islam SMIP 1946 Banjarmasin

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mekar dan Makar

22 November 2022   21:05 Diperbarui: 22 November 2022   21:20 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepintas ini hanya soal otak-atik kata. Hanya soal rame-rame saja. Tidak ada yang serius dan tidak ada yang perlu diseriusi. Namun, ketika  kata “makar” muncul dalam sebuah pertemuan resmi, dihadiri banyak orang dan temanya tentang wawasan kebangsaan, tentunya akan melahirkan keterkejutan.

Alkisah, suatu ketika saya diajak seorang teman berkunjung ke sebuah desa terpencil. Teman ini seorang anggota DPRD yang sedang melakukan kunjungan ke konstituen atau para pemilih di daerah pemilihannya untuk melakukan sosialisasi wawasan kebangsaan. Saya diminta untuk menjadi salah  satu nara sumbernya.

Awalnya acara berjalan lancar. Pertama teman saya yang menyampaikan maksud dan tujuannya berkunjung. Lanjut dengan sedikit penjelasan tentang apa itu wawasan kebangsaan dengan 4 konsesus dasar berbangsa dan bernegara itu. Tentu saja hanya selayang pandang, tidak seperti gaya kuliahan, hehe

Kemudian giliran saya sebagai nara sumber. Saya lebih suka bicara tentang sila ke-empat Pancasila. Lebih spesifik tentang pentingnya pemilu yang harus diikuti dengan baik. Intinya pilihlah calon wakil rakyat yang terbaik. Jangan memilih seorang calon wakil rakyat karena isi amplop yang dibagikannya.

Kalau memilih wakil rakyat karena uang, maka tidak mustahil akan terpilih wakil rakyat yang akan sibuk mengembalikan modal. Dia lupa dengan rakyat karena bekerja atas dasar prinsip seorang pedagang. Begitu banyak keluar modal, ya harus balik modal. Kalau sudah balik modal, ya berfikir mencari laba. Kalau sudah dapat laba, ya berfikir lagi untuk ngumpulin modal pemilu berikutnya. Soal kepentingan rakyat itu sudah menjadi nomor yang kesekian saja, hehe.

Ketika anda protes, dengan enteng dia akan menjawab, “kan, suara anda sudah saya bayar ....” Akhirnya, pemilu menjadi sesuatu yang sia-sia belaka. Bukan kemajuan yang didapat, bisa jadi yang diperoleh adalah kemunduran atau kesengsaraan rakyat.

Nah, ketika sampai waktunya acara tanya jawab, tiba-tiba seorang tokoh masyarakat adat di sana menyampaikan pertanyaan, “bagaimana caranya agar kami di kampung ini bisa makar?” Pertanyaan yang terasa sebagai pernyataan keras. Pernyataan yang jelas sangat bertentangan dengan tujuan sosioalisasi wawasan kebangsaan yang sedang dilakukan.

Kampung itu memang terisolir. Untuk sampai ke sana kita harus melewati jalan tambang batu bara. Terus masuk perkebunan karet dan sawit. Tak ada perkampungan di kiri kanannya. Di perjalanan nyaris tidak ketemu orang, kecuali sesekali berpapasan dengan mobil angkutan tambang, sawit dan karet. Betul-betul terisolir. Jadi, wajarlah ketika tiba-tiba ada kehendak untuk makar.

Eh, maaf, jangan salah paham dulu. Kalau orang mau makar, tentu penyampaiannya akan sangar. Ini, tidak! Pertanyaan itu disampaikan secara santai. Sepertinya tidak ada beban sama sekali. Sama sekali tidak ada kekhawatiran bahwa urusannya bisa sampai ke polisi. Bukankah urusan makar merupakan salah satu jenis kejahatan yang serius terhadap negara?

Untungnya kebingungan kami tidak berlangsung lama. Tiba-tiba si ketua adat menyadari kesalahannya. Beliau pun lalu meralat pertanyaannya, bukan makar, tetapi mekar. Maksusnya pemekaran desa. Hanya keseleo lidah karena dialek setempat yang susah mengucapkan vokal e, hehe.

Jadi, jelas bukan mau melakukan sesuatu yang melanggar hukum, tetapi minta agar kampungnya bisa dimekarkan menjadi desa tersendiri. Dan, nampaknya itu wajar dan pantas diperjuangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun