Mohon tunggu...
taufik hidayat
taufik hidayat Mohon Tunggu... Lainnya - Aktivis politik dan penggiat pendidikan

Pernah menjadi anggota DPRD Kota Banjarmasin periode 1997-1999, 1999-2004 dan ketua DPRD Kota Banjarmasin periode 2004-2009. Sekarang aktif sebagai ketua BPPMNU (Badan Pelaksana Pendidikan Ma'arif NU) Kota Banjarmasin dan ketua Yayasan Pendidikan Islam SMIP 1946 Banjarmasin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengembangkan Budaya Literasi di Sekolah (2)

12 November 2022   16:45 Diperbarui: 12 November 2022   16:59 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Apa Itu Literasi?

Sebelum lanjut pada cerita tentang bagaimana keterlibatanku dalam pengembangan budaya literasi di sekolah, ada baiknya kita sedikit berbincang-bincang tentang apa itu "literasi". Jangan-jangan selama ini kita hanya bisa menyebutnya saja, tanpa paham arti sesungguhnya. Tentu banyak yang demikian, salah satunya penulis sendiri. 

Nah, dalam rangka pembuatan tulisan ini dan juga sangu ketika kecebur pada pengembangan budaya literasi, maka aku mencari berbagai informasi tentang literasi itu . Dan ternyata memang benar, pemahamanku tentang literasi banyak yang keliru. 

Selama ini aku memahami bahwa literasi itu adalah kegiatan tulis menulis semata. Ternyata keliru. Literasi tidak hanya soal menulis, tetapi juga membaca. Dan ternyata lebih jauh dari itu, juga berfikir kritis.

Setidaknya itulah yang bisa kita pahami tentang literasi menurut Wikepedia:

Literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa.[1]

Dalam bahasa Latin, istilah literasi disebut sebagai literatus, artinya adalah orang yang belajar. Selanjutnya, National Institute for Literacy menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat. Education Development Center (EDC) juga turut menjabarkan pengertian dari literasi, yakni kemampuan individu menggunakan potensi yang dimilikinya, dan tidak sebatas kemampuan baca tulis saja. 

UNESCO juga menjelaskan bahwa literasi adalah seperangkat keterampilan yang nyata, khususnya keterampilan kognitif dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks di mana keterampilan yang dimaksud diperoleh, dari siapa keterampilan tersebut diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya. 

Menurut UNESCO, pemahaman seseorang mengenai literasi ini akan dipengaruhi oleh kompetensi bidang akademik, konteks nasional, institusi, nilai-nilai budaya serta pengalaman. Kemudian, di dalam kamus online Merriam—Webster, dijelaskan bahwa literasi adalah kemampuan atau kualitas melek aksara di mana di dalamnya terdapat kemampuan membaca, menulis, dan mengenali serta memahami ide-ide secara visual.

Masih di Wikepedia dijelaskan tentang Literasi Baru:

Pada abad 21 pada era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 muncul paradigma literasi baru. Tantangan era ini menurut penelitian Hamidulloh Ibda sangat kompleks yang mengharuskan masyarakat mengimplementasikan literasi baru (literasi data, literasi teknologi, literasi manusia) yang menjadi pelengkap literasi lama (membaca, menulis, berhitung).[2]

Dalam Rapat Kerja Nasional Kemenristek Dikti 2018, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemenristek Dikti menyampaikan mengenai beberapa kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan sebuah perguruan tinggi untuk menghadapi era Revolusi Industri 4.0. Kemampuan yang harus dimiliki dan diajarkan pada kurikulum perguruan tinggi salah satunya adalah literasi data. Selain literasi data, literasi baru juga mengharuskan literasi teknologi dan SDM.

Munculnya era literasi baru tidak lepas dari era revolusi industri 4.0. Kondisi ini, adalah era dunia industri digital telah menjadi suatu paradigma dan acuan dalam tatanan kehidupan saat ini. Era revolusi  industri 4.0 hadir bersamaan dengan era disrupsi yang sejak tahun 2017 mulai direspon serius kalangan terdidik. 

Untuk menghadapi revolusi industri 4.0 atau era disrupsi diperlukan “literasi baru” selain literasi lama. Literasi lama yang ada saat ini digunakan sebagai modal untuk berkiprah di kehidupan masyarakat. Literasi data, teknologi, dan SDM harus direspon pendidikan tinggi yang bisa dimasukkan ke dalam pembelajaran.[3]

Menurut penelitian Hamidulloh Ibda, dijelaskan bahwa penguatan literasi baru pada guru dan dunia pendidikan menjadi penting karena sebagai kunci perubahan, revitalisasi kurikulum berbasis literasi dan penguatan peran guru yang memiliki kompetensi digital. Guru berperan membangun generasi berkompetensi, berkarakter, memiliki kemampuan literasi baru, dan keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Pendidikan sebagai dasar penentu kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional pada anak, harus memperkuat keterampilan literasi abad 21. 

Mulai aspek kreatif, pemikiran kritis, komunikatif, dan kolaboratif. Pendidikan urgen memperkuat literasi baru dan revitalisasi kurikulum berbasis digital. Revitalisasi kurikulum mengacu pada lima nilai dasar dari peserta didik yang baik, yaitu ketahanan, kemampuan beradaptasi, integritas, kompetensi, dan peningkatan berkelanjutan. Pendidik harus menjadi guru digital, paham komputer, dan bebas dari penyakit akademis. Tujuannya mewujudkan generasi berkompetensi tingkat tinggi, karakter dan literasi untuk menjawab tantangan era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0.[4]

Dalam buku yang ditulis Farid Ahmadi dan Hamidulloh Ibda disebutkan bahwa literasi baru merupakan kemampuan atau sebuah usaha mendapatkan informasi, pengetahuan, melalui tiga jalan yaitu literasi data, teknologi dan SDM/humanisme. Literasi baru menjadi penguat dari literasi lama yaitu calistung atau dikenal dengan membaca, menulis, berhitung.

Pembelajaran memproses input dengan tujuan agar menghasilkan output atau outcome yang diinginkan. Untuk itu, penerapan HOTS harus menggiring siswa dan mahasiswa dapat berpikir logis, kreatif, komunikatif yang dibutuhkan diabad 21.

Tanpa hal itu pendidikan yang capaianya harus menjawab era abad 21 akan dilaksanakan karena era ini membutuhkan keterampilan yang sangat kompleks. Maka semua guru, dosen, dan akademisi, harus dapat mewujudkanhal itu dalam rangka menggapai peradaban literasi baru.[5]

Maaf, mungkin kepanjangan kutipannya. Namun, sayang kalau diedit, khawatir kalau bias, hehe (bersambung).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun