Mohon tunggu...
taufik footprint
taufik footprint Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh Rumah Tangga

Keep smile

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta Diufuk Barat

13 November 2013   06:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:14 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seperti biasanya engkau hadir lebih dulu dari serinai pagi industri polusi pembakar langit, perlahan beranjak dikegelapan dari sudut mata angin yang tak berbeda.

Layak seorang bayi, rona-rona mu mengisi celah kerinduan hati yang menanti alunan tangis surgawi.

Kau bukan rekahan senyum bibir seorang panglima tampan yang pulang dari kemenangan medan pertempuran, kau juga bukan isa pemberi cahaya yang kelak turun menyelamatkan dunia, engkau juga bukan sepasang kaki lincah penari balet kecil pengobat duka haus asmara dewa pecinta.

Roman apa yang harusnya ku tulis dan ku sajikan untuk mu kasih, biar engkau mengerti setidaknya ada aku yang akan mengagumi mu disetiap detik disetiap saat di setiap engkau berjalan mengemban tugas memikul perintah tuhan.

Saat engkau mulai membunyikan lonceng kehidupan, alam yang tertunduk lesu termakan dinginnya rembulan bergeser menjadi kesatria pembusung dada.

Saat engkau mulai membunyikan lonceng kehidupan, kekudi dan gereja silih berganti bernyanyi bersautan menari kegirangan.

Ketika engkau mulai membunyikan lonceng kehidupan, gumpalan ulat pohon kini menjadi rama-rama beterbangan melukis indahnya pagi dipojok taman usang sisa lahan pembangunan kantor dan perkarangan.

Seharusnya mereka sadar jikalau engkau tidak terhasut laut yang terkadang memakan korban, tidak terhasut gunung yang kapan-kapan dapat berubah menjadi lawan, tidak terhasut tiupan angin yang sifat dan tingkahnya terbilang musiman, sedikitpun kau tidak pernah.

Mereka hanya tau menggerutu dan menganggap kau terlalu terburu-buru ketika engkau menggulung tikar embun penyelimut semesta, mereka bisanya hanya murka ketika engkau mulai memaksa menyita alam lepas sadar yang digeluti semalam suntuk, tak jarang pula mereka memaki dan berharap hujan menjadi tirai agar engkau terlindung dari pandangan, apa lagi ketika engkau benar-benar memberi radiasi alami dimana bayang tak terlihat lagi jutaan dari mereka mulai menyumpah serapah dengan kalimah perih laksana luka sembilu buluh perindu.

Seolah mereka lupa dari apa yang kau pijar dapat terbentuk menjadi tonggak pilar roda kehidupan.

Apa mereka benar-benar lupa energi apa yang akan tercipta jika dunia tanpa cahaya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun