Mohon tunggu...
Taufik Eko Susilo
Taufik Eko Susilo Mohon Tunggu... Akademisi | Staff Pengajar -

Akademisi | Assisten Dosen | Peneliti Muda

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ada Rasa yang Tidak Asin dalam Telur Asin

23 September 2012   02:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:53 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13483684641406366850

Dua hari yang lalu saat sedang menonton televisi, timbul rasa lapar yang tidak bisa di tahan. Waktu sudah menujukan pukul  22.00 malam, waktu yang sudah cukup larut untuk membeli makanan dalam jumlah besar. Lapar yang menghantui pada malam itu bukanlah lapar untuk mengkonsumsi nasi dalam jumlah besar. Lahar dalam bahasa banjar yang berarti lapar tapi tidak ingin makan nasi. Atau dalam bahasa gaulnya, ngemil.

Pikiran saya tertuju kepada tempat tongkrongan paling membumi di kota Solo ini, Angkringan. Beberapa daerah lainnya ada pula yang menyebutnya Hik. Berbagai menu kash di temukan di angkringan, mulai dari nasi kucing, macam-macam gorengan, sate telur, ceker, dan lain-lainnya. tapi pilihan saya tertuju pada satu jenis menu, Telur Asin.

Di setiap warung makan yang disinggahi, jika perut ini masih sanggup untuk menerima makanan dan masih ada sedikit lembaran uang maka telur asin adalah hidangan pencuci mulut. Mengalahkan lezatnya buah anggur dan pisang yang sudah disediakan. Bagi saya pribadi menyantap telur asin yang nikmat adalah langsung dimakan tanpa nasi. Jika memakannya langsung tanpa campuran maka asin yang ada pada telur masih terasa nikmat secara utuh. Berbeda ketika kita campur dengan nasi atau dengan kuah gulai sekalipun, karena rasanya sudah berbeda. Bukan karena apa saya menyukai telur asin ini, tapi karena ada satu bagian menarik dengan telur asin tersebut.

[caption id="attachment_213926" align="aligncenter" width="400" caption="ilustrasi (sumber : resepmasakanindonesia.info)"][/caption]

Pada tahun 2000-2003, tahun-tahun di mana pasca reformasi. Di mana stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan yang belum stabil menyebabkan kondisi keuangan rumah tangga kami sedikit fluktuatif. Hal ini sungguh berbeda di tahun-tahun sebelum reformasi di mana Indonesia sedang jaya-jayanya di mana saat itu keluarga yang sedikit berkecukupan.

Sebagai anak pertama, paling tidak saya mengetahui keadaan ekonomi keluarga walaupun tidak bisa mengingat secara utuh pada tahun itu. Beberapa usaha kecil-kecilan yang dilakukan orang tua untuk memenuhi kebutuhan dapur dan perut. Mulai dari usaha menjualkan makanan ringan ke warung-warung, membuka toko kelontong dalam ukuran kecil, dan sampai akhirnya beternak Itik di lahan sebelah rumah.

Beternak Itik bukan hal yang lazim pada saat itu. Karena membutuhkan sedikit modal dan hasilnya juga tidak bisa menghasilkan secara cepat. Lagi pula, menunggu Itik kecil menjadi Itik dewasa bukanlah waktu yang sebentar. Dalam beberapa waktu Itik kecil yang lucu pun sudah berubah menjadi Itik dewasa yang siap untuk bertelur. Pada saat yang bersamaan kami merasakan seperti halnya memetik hasil saat panen. Karena saat bertelur, itik bisa bertelur 1-3 telur. Pernah saya bertugas pagi-pagi untuk mengambil telur Itik mencapai 120 butir.

Pada masa itu, Itik sedang masa produktifnya. Hasil yang baik juga harus di sokong dengan pemasukan yang baik bagi Itik tersebut. Dedak yang dicampurkan oleh potongan-potongan wortel dan kubis menjadi satu adonan adalah makanan bagi Itik kami. Waktu makan pun sama halnya dengan makan peternaknya, 3 kali dalam satu hari. Bau badan satu keluarga sudah sama baunya dengan bau Itik. Suara-suara Itik pun sudah menjadi hal yang lazim bahkan menjadi alarm saat subuh yang membangunkan tuan rumah.

Dari telur yang dihasilkan oleh ternak Itik sebagian besar telur tersebut di jual di pasar dan di titipkan di warung-warung, sebagian di biarkan untuk diperam sebagian itik lainnya untuk regenerasi, dan sebagian lagi di jadikan telur asin.

Dari semua rutinitas beternak Itik, bagian telur asin inilah yang sangat saya sukai dibandingkan dengan aktivitas beternak lainnya. Sedangkan ketiga adik saya yang lainnya lebih senang beraktivitas mengambil telur-telur Itik di setiap pagi. Beberapa telur-telur yang sudah di pilih untuk di jadikan telur asin di masukkan ke dalam batu bata merah yang sudah dijadikan serbuk bercampur dengan garam. Di diamkan beberapa hari. Setelah itu diambil dan di cek apakah sudah pas atau tidak untuk menjadi telur asin yang siap dimakan.

Menjadikan telur asin itu tidak serta-merta langsung jadi menjadi telur asin yang pas. Saya masih ingat rasa telur asin pertama kali seperti garam berbentuk sebuah telur, luar biasa asinnya. Setelah beberapa kali trial eror maka bertemu dengan komposisi garam yang pas di masukkan dalam serbuk batu bata. Di masa itu juga santapan telur Itik yang di variasikan dalam berbagai menu menjadi sajian bersama nasi. Usaha tersebut berlangsung hingga saya menginjak kelas 2 SMP setelah itu beralih ke usaha lainnya dan usaha kecil-kecilan pada saat itu sedikit membantu kondisi ekonomi keluarga. Walaupun tidak ingat secara utuh tapi memori akan masa itu masih terasa sampai sekarang.

Maka dari itulah kenapa telur asin menjadi menu yang istimewa bagi saya pribadi. Seperti halnya para pengamat makanan, saya pernah mengucapkan bahwasanya telur asin yang enak itu adalah telur asin yang putih telurnya asin tapi kuning telurnya tidak begitu asin. Dan menyantapnya lebih baik di makan langsung tanpa nasi karena nikmatnya akan sangat terasa.

Seperti halnya kritikus makanan dalam film kartun Ratatouille yang teringat masa kecilnya saat menyantap makanan Ratatoulie, seperti itu pula ketika saya menikmati telur asin.

Telur asin seperti halnya hidup. Hidup ini akan begitu asin kita nikmati secara utuh. Namun asin tersebut tidak akan terasa saat kita nikmati secara perlahan. Walaupun hidup ini begitu asin tapi sejatinya hidup ini tidak asin kalau dinikmati secara perlahan. Karena inti kehidupan ini sebenarnya tidaklah asin seperti putihnya telur.

Setiap orang mempunyai benda spesial dalam hidupnya yang mengingatkan kejadian akan suatu hal. Mungkin kita sering menemukan orang yang meneteskan air mata saat melihat foto keluarganya yang di rumah karena teringat keluarga besarnya yang di kampung halaman. Ada juga yang menangis ketika melihat boneka karena teringat akan sang mantan pacar. Dan berbagai macam bentuk benda di dunia ini yang mempunyai kisahnya sendiri.

Sedangkan bagi saya sendiri, telur asin adalah interpretasi keadaan di masa itu. Ada cerita sendiri di balik asinnya telur. Sejatinya telur asin yang terbaik adalah yang kuning telurnya tidak begitu asin. Seperti halnya hidup terlihat asin namun sebenarnya tidak seasin itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun