Di tengah kabut yang tak pernah benar-benar pergi, Jakarta berdiri seperti kota yang terjebak dalam mimpi buruk yang abadi.
Udara yang berat dan berdebu menari-nari di antara gedung-gedung pencakar langit, seolah-olah alam sendiri telah menyerah pada keserakahan manusia.Â
Sungai Ciliwung, yang dulu mungkin pernah jernih dan penuh kehidupan, kini mengalir pelan dengan air yang keruh, membawa serta cerita-cerita pilu dari masa lalu yang terlupakan.
Di sudut-sudut jalan, para pedagang kaki lima bertahan dengan senyum yang tertahan, sementara langit di atas mereka tak pernah lagi menampakkan warna biru yang murni.
Jakarta, kota yang tak pernah tidur, terus bergerak dalam irama yang kacau, seolah-olah waktu sendiri telah kehilangan maknanya.
Di sini, di tengah hiruk-pikuk yang tak berkesudahan, manusia hidup berdampingan dengan polusi, kemacetan, dan harapan yang tak pernah benar-benar padam, seperti sebuah cerita cinta yang tragis namun tak pernah berakhir.
Berpindah ke Tenjo, Kabupaten Bogor, bukan sekadar memilih tempat tinggal baru, melainkan memilih cara hidup yang lebih bermakna.
Di sini, harga properti masih terjangkau, seperti sebuah undangan terbuka bagi mereka yang mencari ketenangan tanpa harus mengorbankan tabungan seumur hidup.Â
Rumah-rumah dengan halaman luas dan kebun kecil masih dapat ditemukan, menawarkan ruang untuk bernapas dan tumbuh, jauh dari kesesakan kota besar yang tak berujung.
Akses transportasi yang semakin baik, seperti keberadaan KRL dan jaringan tol, membuat Tenjo terasa dekat dengan pusat keramaian Jakarta, namun tetap jauh dari kebisingan dan polusinya.