Mohon tunggu...
Taufiiqul Hakim
Taufiiqul Hakim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berproses

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

(Part II) Kehendak Bebas Tidak Benar-benar Ada: Perspektif Asy'ariyah dan Sam Harris

4 September 2022   22:15 Diperbarui: 5 September 2022   19:23 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehendak bebas yang dipahami para kompatibilis adalah apabila seseorang bebas dari tekanan luar maupun dalam yang dapat mencegahnya bertindak berdasarkan keinginan dan niatnya sesungguhnya. Jika saya menulis artikel di kompasiana dan tidak ada yang memaksa saya melakukan itu maka sepenuhnya hal itu dilakukan dengan kehendak bebas saya. Menurut Harris pendapat ini tumpul secara ilmiah dan moral. Karena seseorang memiliki banyak hasrat yang bertentangan dan sebagiannya tampak patologis (tak diinginkan).

Misalnya, ini terjadi di beberapa teman saya, seseorang ingin berhenti merokok dan di sisi lain dia juga masih menginginkan sebatang rokok untuk dihisapnya. Jika satu dari dua keinginan tersebut unggul maka dapat dikatakan itu adalah keinginan yang tak diingankan. Kebanyakan teman saya pada akhirnya memilih untuk mengambil sebatang rokok dan setelah itu menyesal. Maka, kata Harris,

"Dimanakah kebebasan untuk benar-benar merasa puas atas pikiran, niat, dan tindakan yang menyusulnya jika itu semua adalah produk dari peristiwa-peristiwa sebelumnya yang ia tak ciptakan?"

Harris mengkritik Daniel Dennett, sebagai kompatibilis, yang bersikeras bahwa walaupun pikiran dan tindakan kita adalah produk dari penyebab-penyebab nirsadar, semua itu tetaplah pikiran dan tindakan kita. Menurut Harris, itu hanyalah pengubahan topik pembicaraan (bait and switch). Mereka menukar fakta psikologis (pengalaman subjektif seorang agen yang sadar berupa perasaan identik dengan kanal informasi tertentu dalam pikiran sadar mereka) menjadi sebuah pemahaman konsptual mengenai diri kita sebagai pribadi. Kita berdampingan dengan yang sadar maupun tak sadar dalam diri kita. Sam Harris mempertanyakan, "Jika mikroba yang menjadi 90% sel dalam tubuh kita melakukan kesalahan, apakah kita juga bertanggung jawab secara moral?".

Jika di Part 1 sebelumnya al-Asy'ari membedakan antara al-kasb dan harkah al-idhthirar dengan tetap menekankan bahwa keduanya ciptaan Tuhan, Sam Harris juga membedakan tindakan sukarela, terencana, dan atas-kemauan (volitional) dengan tindakan non-sukarela dan tidak-atas-kemauan (non-volitional). Harris menggambarkan,

"Saya mungkin secara tak sadar menggeser posisi duduk namun saya tidak dapat tanpa sadar bahwa rasa sakit di punggung saya mengharuskan saya berkunjung ke ahli terapi tubuh."

Pembedaan ini menghasilkan adanya perasaan bahwa ada diri yang sadar secara bebas. Seseorang harus menyadari rasa sakit itu dan secara sadar termotivasi untuk berkunjung ke ahli terapi. Namun, sambung Harris, kita tidak secara sadar menciptakan rasa sakit itu dan pikiran-pikiran yang membuat saya mempertimbangkan terapi fisik. Keseluruhan proses sadar tersebut dihasilkan dari proses-proses yang tak disadari.

Meski begitu, Sam Harris membedakan determinisme dengan fatalisme yang memilih "Ya sudah, lebih baik kita tidak melakukan apa-apa. Toh, semuanya telah ditentukan." Bagi Sam Harris, fakta bahwa pilihan-pilihan kita bergantung pada sebab-sebab pendahulu bukan berarti pilihan kita tidak penting. Jika penulis tidak menulis artikel ini, ia tidak akan tertulis dengan sendirinya. Determinisme menekankan untuk tetap memperhatikan kausalitas. Meski begitu, menurut Harris,

"Pilihan, upaya, niat, dan penalaran memengaruhi perilaku kita, tetapi mereka sendiri adalah bagian dari suatu rantai penyebab yang mendahului kesadaran sadar (awareness conciusly) dan pada dasarnya tidak dapat dikendalikan."

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang bagi, Sam Harris, dipandang sebagai sekedar saksi sadar (conscious witness) dan bukan pengarang yang sadar (conscious author) atas pilihan dan tindakan kita. Ini secara objektif dibuktikan dengan hasil riset bahwa beberapa saat sebelum kita memutuskan sesuatu, di otak kita sudah terdapat informasi mengenai keputusan tersebut. Secara subjektif pun kita tidak akan betul-betul memahami mengapa kita melakukan suatu tindakan. Satu tindakan berasal dari satu pilihan. Satu pilihan muncul dari berbagai kemungkinan. Alasan terkait mengapa pilihan kita tetap menjadi pilihan kita tidak mendapat jawaban memuaskan dan kemungkinan-kemungkinan pilihan itu berasal dari aktivitas-aktivitas neurologis yang ditentukan gen, lingkungan, keadaan psikis dan fisik, yang kesemuanya itu di luar kendali kebebasan kita.

PROBLEM DAN SOLUSI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun