Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Menyesali Kesempatan (Sapaan Hujan)

15 November 2021   16:22 Diperbarui: 15 November 2021   17:06 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/tianshu-liu

Mengapa sering kita menyalahkan hujan untuk pembenaran diri? Padahal ketika kita memberanikan diri untuk keluar, hampir sudah dapat dipastikan kita akan menemui keajaiban-keajaiban yang tak nampak dalam suasana terang. Bukankah hujan ada bukan untuk kita hindari? Bukankah dia juga butuh teman, yang mana engkau rela bermain dan bermesraan dengannya. Tidak hanya menonton dengan bualan kopi dan hangatnya selimutmu.

Jika demikian, apa bedanya hujan dengan perasaan-perasaan yang selalu saja engkau upayakan untuk menghindar, bahkan lari darinya. Seperti kesedihan, kebencian, keputus-asaan, dan rasa-rasa yang sefrekuensi lainnya. Akan tetapi, kita tak sadar suka menonton bahkan menggunjingnya jika ada orang lain yang mengalaminya. Dan tak sadar pula kita justru menyediakan ruang dan menanam benih-benih penyakit itu di dalam hati kita.

Tapi, seperti itulah wajarnya manusia. Yang katanya penuh dengan cinta dan tidak bisa hidup tanpanya. Cinta yang sudah pasti satu paket berisi rasa suka segaligus rasa benci, kebahagiaan sekaligus kesedihan. Tidak bisa kita hanya berdiam di satu sisi, sementara sisi yang lain dibiarkan kosong. Alhasil jika ada ketimpangan seperti itu, maka skita juga harus bersiap-siap untuk terjatuh. Dan spada waktu itu pula kita sedang diberikan kesempatan merasakan sakit.

Kasihan Si Hujan yang sering dijadkan alasan atas sakit-sakit yang sebenarnya merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Begitu sabarnya hujan merelakan dirinya menjadi cacian dan hujatan oleh orang-orang yang mengaku dirinya cerdas. Tidak bisa dibayangkan apabila sekali waktu saja hujan meminta tuannya untuk marah dan membalas hujatan-hujatan itu. Tidak bisa dibayangkan jika rasa-rasa keputusasaan itu ikut berdemo menuntut hak keeksistensiannya.

Padahal sudah jelas dan terbukti, setelah hujan ada kemungkinan terang. Meskipun ada kemungkinan hujan lagi setelahnya, tapi bisa diyakini pula bahwa akan ada terang lagi setelahnya, dan seterusnya. Lalu, mengapa kita mesti takut? Meskipun sebenarnya kita hanya perlu bersiap-siap untuk segala kemungkinan. Dan apapun kesiapan yang telah diupayakan itu bukan sebuah jaminan kepastian, melainkan hanya sebatas ikhtiar dengan niat kebaikan.

Lalu, bagaimana dengan cinta yang selalu mengandung dua sisi yang berlawanan? Sebab, tanpa perlawanan takkan pernah terjadi proses penguatan. Secanggih apapun kecerdasan manusia memformulasikan rumusan cinta, ia tidak akan mampu menerjemahkan ataupun memastikan apapun tentang cinta. Kecuali hanya sebatas gejala-gejala pada jiwa manusia.

Begitu pula yang terjadi pada rasa yang mungkin sedang dititipkan pada diri. Tidak semuanya memilih terang dengan harap akan memberikan kenyamanan. 

Adakalnya, sedikit orang akan memilih untuk membersamai hujan agar tetap dapat menikmati cinta dalam sunyi yang terkandung dalam riuhnya hujan. Tidak semuanya ingin menyatakannya secara lugas, kecuali memilih untuk menyatakannya melalui perilakunya kepada semesta. Sebab, yang nampak pada segala yang tertangkap dalam pandangannya hanyalah manifestasi akan wujudmu.

Keadaan ini tidak berlaku pada ilmu-ilmu apapun, kecuali cahaya yang mengantarkan dirinya pada perasaan cinta tersebut. Untuk apa ia menanggung mata, jika yang menjadi nikmat adalah rasa. Orang yang mencinta tidak menyesali waktu saat mencinta, akan tetapi apabila terlewatnya waktu atau kesempatan ketika perasaan cinta tersebut membuatnya hidup.

Kasih, kata-kata ini tidak meminta untuk dipahami terlebih untuk dimengerti. Sebab, ada kesempatan untuk berbagi itu sudah lebih dari cukup meski kita tidak sedang berada di dunia yang sama. Adakalanya esok engkau akan mengetahui, meski waktu sudah tidak lagi ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun