Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendustakan Keberuntungan

3 November 2021   23:48 Diperbarui: 3 November 2021   23:50 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: @pieu_kamprettu

Ternyata kita masih beruntung, diantara mereka yang mesti dirundung derita. Yang bukan sedang mempertahankan hidupnya untuk selalu membuka pintu ridho atas tuannya. Kita lantas merintih atau mungkin merajuk bukan atas derita, melainkan karena nikmat yang begitu agung.

Dia memberi kita cahaya yang mencerahkan hati, saat tubuh ini sangat kaku, layu, dan mati. Dia dekap peluh air mata ini, lalu menggantinya dengan kerinduan yang lebih memabukkan daripada sebotol anggur. Bahkan Dia rela menghargai kotoran kita, dengan menunaikan pundi-pundi harta yang kita anggap sebagai keuntungan.

Adakah kita mencari persamaan atas penderitaan yang telah banyak diceritakan dan dialami sendiri oleh para kekasihnya? Sedang kita sendiri hanya mengharap barokah untuk keselamatan diri sendiri dan enggan untuk setidaknya berbagi. Kalau dipikir, bukankah kita ini sungguh egois?

Seorang Hilal yang ditempatkan di kandang hingga membuatnya sakit, namun ia tidak menggerutu atas nasibnya, namun justru membuktikan kesetiaannya melewati ujian sekalipun majikannya seorang muslim. 

Dan saat Kanjeng Nabi menjenguknya, Hilal pun berkata, "Bagaimana tidur terasa tidak enak bila terbangun oleh matahari kenabian? Bagaimana bisa disebut kehausan orang yang kepalanya disirami air kehidupan?"

Keadaan itu mungkin hanyalah sebulir debu di padang pasir rahmatNya. Keadaan seperti itu memungkinkan seseorang mencapai tingkatan tertentu yang diberikan kepada orang-orang yang mempelajari kalamullah dengan benar. Bagaimana mungkin kita tidak beruntung?

Mungkin saja waktu menjadi masalah, sehingga diri merasa menjadi tawanan ketidakadilan. Meski tak diragukan bahwa bisa saja Tuhan berkata "Kun" dan mengubah semuanya dalam sekejap, namun mengapa Dia memperpanjang penciptaan semesta ini selama enam hari, yang mana tiap harinya setara dengan seribu tahun, wahai kekasih?

Untuk merasakan puncak gunung, kita mesti menapaki langkah demi langkah. Makanan yang dihangatkan secara tergesa-gesa akan cepat rusak pula. Bahkan, kita semua membutuhkan waktu sembilan bulan dalam kandungan untuk dapat terlahir dari rahim seorang ibu. 

Tidakkah itu menunjukkan bahwa semuanya dilakukan dengan penuh kehati-hatian, kesabaran dan kelembutan. Lantas, tidakkah rahmat itu datang salah satunya sebagai bayaran atas kesabaran itu? Penantian itu mungkin saja tidak sia-sia dan berbalas kebahagiaan yang sejati.

Jangan sampai kita pelihara penyakit yang sulit disembuhkan. Atau mungkin enggan untuk sembuh. Karena mungkin itulah kematian dalam hidup. Dan ketika keadaan seperti itu datanglah nasihat, "Kerjakanlah apa yang kalian mau, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan." (41:40)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun