Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Romantisme Sumpah Pemuda!

28 Oktober 2021   15:34 Diperbarui: 28 Oktober 2021   15:39 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Windri Astriyani

Apa yang mesti diteguhkan lagi di peringatan hari Sumpah Pemuda sekarang ini? Terutama bagi para pemuda itu sendiri? Para pemuda itu sedang berjuang untuk mendapati pendirikan yang sewajarnya, sebelum memsasuki hutan rimba dunia. 

Para pemuda itu sedang berjuang tidak untuk menang demi dirinya sendiri, melainkan kebersamaan. Maka, setidaknya cukup dengan mampu bertahan hidup dalam hutan rimba tersebut nampaknya sudah menjadi prestasi yang mesti diapresiasi.

Para pemuda itu bosan dengan romantisme zaman di setiap peringatan hari-hari besar perjuangan. Sebab, pemuda hanya diceritakan tentang ketangguhan perlawanan, sedangkan dalam kehidupan nyata mereka sendiri.

Musuh terbesar yang mesti dilawan adalah diri mereka sendiri, atau bahkan bangsa mereka sendiri. Maka diam dan bertahan mungkin adalah pilihan yang tepat untuk sementara waktu. Dengan sedikit bersandiwara ikut hagemoni bila perlu.

Untuk apa lagi kami bertumpah darah untuk tanah air satu? Kalau kekayaan tanah air sendiri hanya dimonopoli oleh para elit penguasa.  Untuk apa lagi kami mesti berbangsa satu? Kalau nyatanya tidak ada jaminan keamanan dan keselamatan oleh pemimpin bangsa, kecuali hanya sengkarut perselisihan. 

Untuk apa lagi kami mesti menjunjung berbahasa satu? Jika beragam bahasa dan budaya hanya sekedar digunakan sebagai hiasan pakaian Garuda yang tersungkur lesu.

Para pemuda ini adalah rakyat yang terus tumbuh dan beradaptasi seiring dengan kemajuan zaman. Yang terus berusaha memahami dan menghargai segala peninggalan zaman. Para pemuda ini bebas dengan otentisitasnya masing-masing, yang pasti akan menimbulkan banyak perbedaan. 

Lantas kenapa mesti diseragamkan menjadi satu? Sedangkan para pemuda ini tidak bangga dengan seragam apapun, sebab sudah mengenakan pakaiaan yang layak saja dirasa sudah cukup.

Sumpah pemuda ini jangan sampai menjadi sumpah serapah, saling kutuk sana-sini dengan begitu mudahnya. Saling lempar kesalahan yang sudah menjadi budaya karena pendidikan hanya fokus terhadap pengenalan apa yang benar dan apa yang salah. Para pemuda ini hanya sedang mengalami krisis mental dan kepercayaan diri yang luar biasa, meski tanpa disadari oleh bangsa itu sendiri.

Pemuda-pemudi harapan bangsa ini seolah-olah dididik, disekolahkan, digembalakan tidak untuk menjadi versi terbaik bagi generasinya. Akan tetapi, pemuda-pemudi ini hanya dipersiapkan untuk menjadi generasi penerus. Generasi yang mbuntut, ikut-ikutan, tidak memiliki tanggung jawab, tidak memiliki keberanian. Sifat pengecut dan munafik menjadi hal yang bisa ditemui hampir di mana saja, sebab mereka tidak sadar telah dicuri harga dirinya.

Innovasi dan daya kreasi yang seharusnya bisa dioptimalkan, justru dianggap sebagai ancaman. Tentu saja ancaman atas kesejahteraan elit-elit bangsa yang telah banyak memperkaya diri. Para juragan yang merasa dirinya juragan karena harta kekayaan yang ada di saku mereka. Sehingga apapun mereka anggap bisa diselesaikan dengan uang.

Tentu tidak ada salahnya merevisi sumpah pemuda, atau mengganti judulnya menjadi misalnya "Ikrar Pemuda", atau yang lainnya. Pemuda-pemudi ini tidak hanya setahun menjalani kehidupannya semasa remaja, namun bertahun-tahun. 

Maka dibutuhkan suatu kebaruan yang tidak membosankan, yang melepaskan, yang menjadikan diri mereka berani untuk mencari dan menjadi versi terbaik bagi generasinya. Untuk menjadi generasi pembaharu bagi bangsa dan kemashlahatan rakyatnya.

Yang berani bertanggung jawab atas hutang ribuan triliun yang mungkin membutuhkan banyak generasi untuk menyelesaikannya. Tapi, pemuda-pemudi ini harus siap dan berani mengambil langkah awal yang menentukan masa depan anak cucu mereka kelak. Yang bangga bukan atas warisan peninggalan hutang negara, melainkan atas kemerdekaan yang sejati. Bukan atas kendaraan apa yang mereka miliki, akan tetapi atas keamanan dan kenyamanan bahkan saat harus berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum.

Dan para pemuda itu sendiri seharusnya mengetahui, bahwa kita sedang tidak berkompetisi untuk mendapatkan nilai atau ranking yang terbaik. Kita tidak sedang berlomba untuk dapat mencari laba sebanyak-banyaknya. 

Kita sedang berjuang bersama-sama untuk terus menggali pengetahuan untuk melawan diri kita sendiri, "melawan bangsa kita sendiri", seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Bung Karno.

Sebab pengetahuan itu merupakan perjuangan, bagi pemuda-pemudi yang memiliki cita-cita yang mulia. Dan pengetahuan itu hanya bisa didapat bukan dengan cara saling bersaing menapaki puncak yang tinggai. 

Akan tetapi ilmu itu akan tetap bersemayam dengan merendahkan diri dan penuh perhatian secara seksama. Kalau enggan segera untuk memulai, lantas mau kapan lagi, wahai engkau yang mengaku Pemuda Bangsa!?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun