Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menertawakan Penderitaan

18 Oktober 2021   20:59 Diperbarui: 18 Oktober 2021   21:11 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan kalimat "urip kui sing penting bahagia!", lalu apakah yang tidak bahagia itu lantas bukan sesuatu yang penting? Adakah yang tidak penting jika rasa itu bukan kuasa kita untuk menciptakannya?

Para penikmat durian juga berkata bahwa bau durian akan menunjukkan kualitas daging buahnya. Lalu, apakah kita hanya akan memcium aromanya saja? Tentu saja kita perlu membukanya. Menerobos kulit buah yang penuh duri-duri tajam, sehingga berpotensi melukai siapapun yang tidak berhati-hati ketika akan membukanya.

Hidup pun kurang lebih begitu. Bau kebahagiaan itu mungkin saja bisa kita rasakan. Akan tetapi, kalau kurang kewaspadaan, akan sangat mungkin hanya akan tersemat luka di putih lembutnya kulitmu.

Sekali-kali kita lupa dengan "cara", sebab tak sadar enggan untuk menunggu meski sejenak. Atau sekali-kali kita enggan untuk berani mencoba, sebab kita enggan mesra dengan waktu yang selalu memberi kita kesempatan walau sudah sering gagal.

Bahagia bukan hanya tentang menikmati hidup dengan penuh tawa. Sebab, akan ada tangis yang selalu mengintip menunggu tersapa. Sebab, akan ada derita di balik senyum canda itu. Apkaah tidak ada yang mengandung derita dalam hidup kita? Sekalipun saat ini kita berkata bahagia.

Derita untuk diri pada akhirnya pantas untuk ditertawakan. Namun, derita pada orang lain harus kita sikapi dengan penuh rasa ketidaktegaan. Seolah-olah kita mesti tega dengan diri kita sendiri. Kita harus radikal terhadap diri sendiri. Kita harus belajar tanggung jawab dan berilah hukuman (kalau perlu) untuk diri kita sendiri.

Kalau ada yang bilang hidup itu yang penting senang. Sisi lain dibaliknya seolah dia berkata, "janganlah engkau bersedih dengan penderitaan, engkau mungkin tidak akan kuat, biar aku saja!" Sembari meracuni dengan senyumnya yang meyakinkan bahwa ia sedang bahagia.

Tapi kita mesti juga ingat, sekalipun kelak kita sanggup menertawakan penderitaan, waspadalah terhadap celah ketinggian hatimu. Karena hidup bukanlah pementasan skill kebahagiaan ataupun kesedihan. Itu niscaya bagi kita sebagai manusia. Akan tetapi, hidup memanglah sebuah perlombaan untuk selalu berbuat kebaikan dengan sesuatu yang diyakininya masing-masing.

Dalam bahagia selalu terkandung syukur. Sedang dalam derita, akan terkandung pula rasa syukur sekaligus ikhlas. Mungkin saja suatu saat nanti, kita bisa menertawai bersama dua sisi yang berbeda itu. Karena kita mengetahui dan meyakini bahwa Tuhan juga akan selalu menemani kita.

Pada akhirnya kita tidak bisa memaksa orang yang tidak suka durian untuk ikut bersama menikmati manisnya daging buah berduri itu. Bagaimanapun juga, semua memiliki seleranya masing-masing terhadap sesuatu yang disukainya. Kita tidak perlu memaksa, mengintervensi, ataupun mengintimidasi agar sama. Namun, yang perlu kita usahakan adalah terus menghargai perbedaan dan ketulusan untuk terus saling mencinta. Meskipun tahu bahwa hal yang disukainya berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun