Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keserakahan

8 Oktober 2021   15:41 Diperbarui: 8 Oktober 2021   15:44 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/roma-kaiuk

Terkadang ada sesuatu yang sedikit tidak atau belum mampu saya pahami. Yakni tentang mengapa mereka selalu menjadikan harta sebagai alasan agar mereka mampu memberi. 

Lantas, bagaimana dengan mereka yang hanya memiliki harta yang cukup, atau (maaf) kekurangan dan tidak memiliki harta, apakah itu berarti mereka lantas belum mampu atau tidak bisa memberi sesuatu?

Seperti katak yang bersembunyi di balik tempurung, semua hanya seperti menjadi alasan yang tersembunyi di balik alasan. Manusia alangkah baiknya tidak menjadikan harta sebagai alasan untuk berbuat baik? Apakah yang sudah diberikan tidak cukup untuk menjadikan diri bergegas melakukan sesuatu?

Kanjeng Nabi pernah memberi gambaran tentang keserakahan seorang manusia yang lebih merusak agamanya jika dibandingkan dengan dua serigala kelaparan yang berada di kawanan kambing. Atau sebuah peringatan-Nya, Memang tidak ada salah mencari harta untuk penghidupan, akan tetapi jika hal tersebut digunakan untuk dapat berbuat kebaikan, kita mesti sedikit berwaspada. Karena, "bermegah-megahan telah melalaikan kamu."

Mungkin saja penampilan bisa dimanipulasi, perkataan bisa diimprovisasi, akan tetapi selalu ada kejujuran yang tersimpan di salah satu sudut bilik hati. 

Kita akan mengejar sesuatu yang baik, namun kita tidak sadar bahwa itu berlebihan. Sekalipun itu sudah mampu diwujudkan, akan ada rasa lapar yang lain terhadap kebaikan yang telah tercukupi.

Tidak ada yang bisa menutup rasa lapar itu (dalam hal apapun) kecuali tanah. Apabila dia diberi satu, maka dia menginginkan dua. Apabila telah diberi dua, maka ia akan menginginkan tiga. "Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui." 

Setidaknya, tiga kali kalimat peringatan itu terulang dalam salah satu surat. Bagaimana kita akan menjawabnya jika akan ditanya tentang kenikmatan (kemegahan dunia itu)?

Jangan sampai diri lalai akan sanjungan, meski itu tidak harus keluar dari mulut orang lain, tetapi dari dalam diri kita sendiri. Yang akan membawa diri pada sikap "merasa" atau rumongso telah melakukan sesuatu yang baik. 

Maka diamlah, bukankah kalau bisa tangan kiri jangan sampai mengetahui jika tanan kanan hendak memberi? Sepertinya kita, ataupun aku pasti pernah mengalami, "dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun