Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Budak yang Mencinta

1 Agustus 2021   23:53 Diperbarui: 2 Agustus 2021   00:01 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sungguh tiada lagi yang menyenangkan para budak ini selain hanya mencinta yang menjadi hiburan hari-harinya. Tiada lagi yang mengagumkan ataupun memukai dirinya, kecuali asih yang selalu diperjuangkan untuk membuktikannya. Mungkin saja, hasil perjuangan itu tak menyenangkan kekasih. Namun, sekali-kali bukan itu yang membuat budak-budak ini tersenyum merekah.

Dirinya mungkin lusuh, tapi cintanya tulus. Dirinya mungkin beraroma busuk, tapi gemulai asihnya lembut. Mungkin saja tak ada yang bisa diharapkan darinya, tapi tingkah lakunya jujur dan apa adanya. Mungkin saja budak-budak ini buruk rupa, namun sekali-kali mungkin hanya merekalah yang bisa dipercaya.

Budak ini mengerti bahwa dirinya tak pantas untuk disandingkan kepada para tuannya. Tapi mengapa dirinya rela terus berada di dekatnya meski harga diri sudah tak lagi berarti di mata tuannya? Apalagi kalau bukan karena cintanya kepada sang kekasih. Kalau kita mengira bahwa semua ini semata-mata karena enggannya diri menahan lilitan di perut. Itu sudah menjadi hal yang biasa terjadi bagi budak ini.

Budak merupakan sebuah abdi. Pernah suatu kali seorang sahabat saya bercerita mengenai para abdi di suatu wilayah istimewa. Seorang sahabat saya itu awalnya menanyakan kepada saya tentang bagaimana pendapat saya mengenai para abdi tersebut? Setelah saya panjang lebar menjelaskan, sahabat saya menanggapi bahwa kurang lebihnya yang dilakukan para abdi itu begitu tunduk kepada rajanya semata-mata bukan karena orangnya. Namun, para abdi itu hanya belajar bagaimana cara mereka mengabdi kepada Sang Maha Pencipta.

Begitu banyaknya gambaran akan ketulusan yang mungkin tiap-tiap orang memiliki tuannya, kekasihnya, bahkan rajanya masing-masing dalam kehidupannya. Tiap diri dari kita hanyalah budak-budak yang sibuk mencinta akan sesuatu Yang Maha. Hanya saja, Dia bisa bermanifestasi ke dalam berbagai wujud dan rupa yang tidak bisa disamakan satu dengan yang lainnya.

Lantas bagaimana kita pada akhirnya bisa disebut sebagai seseorang yang memiliki rasa yang sibuk mencinta? Apakah mencinta selalu berbalas bahagia? Derita? Atau keduanya? Sedang kita masih sibuk terjebak dalam romansa-romansa menghamba diri sendiri dengan mencoba membahagia-bahagiakan diri? Bukankah jika dipaksa, sudah pasti hanya akan mewujud sandiwara. Sudahlah, biar saja bahagia dan derita menjadi bagian dalam perjalanan mencinta. Tidak hanya kepada dirimu, pun kepada apa dan siapa yang kau rindu.

Lihat saja Dia Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang terus saja memercikkan cahaya cintaNya kepada seluruh semesta raya. Dia selalu tabur-benih-benih kehidupan dan kebahagiaan. Meski para hambaNya banyak yang tidak bersyukur atas segala pemberianNya yang tak terkira, hal tersebut tidak menjadi alasan bagiNya untuk terus mencinta kita semua. Karena Dia-lah satu-satunya Yang Maha Mencinta. Yang mengajarkan cinta tidak berdasar asas transaksional, kecuali hanya ketulusan dan kelembutan.

Dia mungkin saja banyak bersembunyi di balik orang-orang yang kita kasihi, yang membuat atau bahkan memaksa masing-masing dari kita untuk menjadi budak-budaknya. Yang pada akhirnya kita dituntun untuk mengenali atas siapa kasih cinta itu berasal. Hingga pada titik tertentu, baik bahagia atau derita ketika mencinta akan melebur menjadi satu titik, yakni keindahan. Namun, hingga satu sisi saja yang kita harapkan, misalnya kebahagiaan. Bisa saja itu menjadi keindahan, tapi tak sejangkep bila komposisinya lebih lengkap.

Dan siapapun yang hidup, tak ayal merupakan budak-budak yang sedang diperjalankan mencinta. Sekuasa, sekaya, setampan atau secantik, bahkan secerdik apapun. Pada akhirnya hanya akan menjadi tak lebih dari budak-budak yang sibuk dengan cintanya. Untuk menemukan satu namun bahkan tak pantas budak ini untuk melebur kepada tuannya, Yang Maha Tunggal.

Kasih, sediakah engkau menemani budak yang kesepian ini? Sediakah engkau mempercayai budak yang pendiam ini? Sediakah engkau menjadi sandaran bagi budak yang tak kenal lelah ini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun