Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Mapping" Diri: Indera, Pikiran, dan Jiwa

23 Juni 2021   16:26 Diperbarui: 23 Juni 2021   16:49 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/aziz-acharki

Dalam suatu waktu, diri ini diajak untuk bersama-sama menuliskan 3 hal yang paling dicintai dan 3 hal yang paling dibenci. Kira-kira apa yang akan terbesit dalam pikiran kita? Apapun hasil dari pemikiran nantinya akan kita bisa identifikasi pada diri kita masing-masing, terkait indera apa yang paling dominan atau dipercaya sebagai panglima ketika pikiran kita adalah tuannya.

Ketika jawaban mengarah pada subjek-subjek tertentu, bisa kita teliti bersama mengapa yang terjawab adalah subjek? Tentu ada alasan di balik pengambilan keputusan itu. Apakah karena waktu yang terbatas sehingga tidak cukup waktu untuk berpikir dan mendalami pertanyaan yang terlontar? Atau memang karena alat yang digunakan sebagai panglima pemikiran hanya indera-indera tertentu.

Kalau yang tersebut merupakan subjek, sudah dapat dipastikan bahwa ada sebuah peristiwa yang terekam melalui indera penglihatan. Sekali-dua kali, atau berulang kali, sehingga diri begitu mengenal subjek tersebut. Apabila kesan yang didapat baik, besar kemungkinan kebaikan itu akan tumbuh sebagai hal yang dicintai. Namun, jika kesan yang didapat adalah keburukan, maka besar kemungkinan pula keburukan itu menjadi pupuk yang sempurna untuk tumbuh suburnya kebencian dalam diri.

Alam pikiran sebagai raja mesti bijak menyikapi karakter dari para panglima inderanya. Jangan terlalu memihak, pun jangan terlalu pilih kasih dalam hal memenuhi kebutuhannya. Semua disesuaikan porsinya sebagaimana diri berjuang untuk meniti fadhilah yang diamanahkan kepada diri. Ciptakanlah keharmonisan di antara mereka, sehingga tidak ada yang merasa tidak dianggap. Saat ini (selama hidup), mungkin mereka tidak bisa bicara, namun kelak mereka akan menjadi saksi atas segala bentuk perbuatan yang kita lakukan.

Lalu, ada satu lagi bagian indera yang tersembunyi, yang umumnya sering disebut indera keenam. Padahal, setiap dari kita memiliki potensi untuk merasakan bahasa-bahasa yang tidak bisa diterjemahkan oleh kelima ujud indera. Ia tersembunyi, dan dia juga diberi kelebihan untuk peka terhadap sesuatu yang tidak bisa dirasa, diendus, digerakkan, didengar atau bahkan dilihat. Dia merupakan jiwa atau batin kita masing-masing.

Pikiran dan hati memiliki tempat yang terpisah dari lima wujud indera. Apabila pikiran dan jiwai terluka, belum tentu hal itu juga akan melukai indera wujud kita. Pun sebaliknya, apabila wujud indera kita terluka atau putus/hilang, hal itu tidak menyebabkan berkurangnya keutuhan pikiran dan jiwa. Pikiran dan jiwa ini merdeka, tidak bisa kita intimidasi dan tidak akan mungkin bisa kita bohongi. Karena kita tidak bisa mengendalikan, akan tetapi kita bisa menahan.

Maka dari itu, puasa menjadi media yang tempat sebagai sarana untuk melatih diri. Bukan terhadap makan dan minum, melainkan terhadap nafsu-nafsu yang mungkin saja menguasai pikiran dan jiwa. Agar kita tidak mengenyamnya, supaya kita tidak terjebak oleh segala tipu dayanya.

Kembali ke awal, pembagian wilayah akan sesuatu yang dicinta dan dibenci ini bisa menjadi evaluasi diri, seberapa jauh kita mampu menahan gejolak nafsu yang ada dalam diri kita. Cinta pun kalau berlebihan kurang tepat, kita pun pasti mengenal sedulur papat lima pancer, yang mana salah satu bagiannya mengenai nafsu akan kebaikan yang berlebihan. Apalagi terhadap hal yang dibenci, apabila kita memeliharanya bisa jadi kita mendapat istidraj (bagian yang dibiarkan) oleh Allah dan terus ditambahi penyakitnya. Kita jangan sampai menjadikan alasan benci terhadap suatu hal menjadikan diri kita berlaku tidak adil.

"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta." (2:10)

Terlebih, jika semua hal yang dicinta dan dibenci itu terpenjara oleh subjek-subjek tertentu. Dalam hal yang dicintai, kita secara tidak sadar bisa membatasi potensi diri apabila kita terjebak dalam sosok/penokohan. Pun sebaliknya dengan hal yang dibenci, segala bentuk kebaikan yang dilakukan akan menjadi penolakan bagi diri. Kita seperti memelihara hati yang berpenyakit. Oleh karena itu, kita mesti selalu waspada. Sebab sifat kemurahan dan pemaaf-Nya sudah pasti terinstalasi dalam software diri kita. Tinggal mau tidak kita mencari dan mengaktifkannya.

Kalau ingin mencari sedikit lebih aman dan lebih jeli terhadap sesuatu, kita mesti mengamati tidak sebatas subjek, melainkan atas sifat-sifat yang membentuk karakter si Subjek. SIfat-sfiat itulah yang seharusnya kita pilah antara yang dicintai dan dibenci. Sebab, kita tidak akan pernah bisa memastikan dan menjamin kebaikan, kesalehan, ketaatan, kejujuran orang di masa yang akan datang. Pun dengan subjek yang memiliki sifat yang kita benci, seperti dusta, zina, dholim, dll. Kita tidak bisa memastikan di waktu yang masih ghaib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun