Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Satu Jalan Banyak Pintu

14 Juni 2021   17:00 Diperbarui: 14 Juni 2021   17:31 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/peter-herrman

"Bukan banyak jalan melainkan banyak pintu." Sekiranya kalimat itulah yang memancing saya untuk menyisihkan kalimat tersebut khusus dibagian yang lain. Selama ini kita mungkin banyak mendengar kalimat-kalimat semacam motivasi, misalnya "banyak jalan menuju ke Roma", bagaimana jika kita sedikit ubah menjadi "banyak pintu menuju Roma."

Secara filosofi, jalan merupakan sebuah lajur atau rute yang sedang ditapaki/dilalui untuk menuju kepada sesuatu. Jalan biasa juga diartikan sebagai suatu cara untuk memahami/mendapatkan sesuatu.  Sedangkan pintu merupakan suatu benda yang mesti kita buka untuk memasuki sebuah ruang. Pintu juga bisa dimaknai sebagai segala sesuatu yang harus kita buka untuk mendapati daya imajinasi yang baru.

Secara psikologis, jalan dan pintu tentu memiliki kandungan kedekatan dan daya kekuatan yang berbeda. Apabila kita membayang kan kita sedang berada di jalan dengan kita sudah berada di depan pintu. Kita masih banyak membutuhkan waktu dan tenaga untuk mencapai sebuah tempat yang dituju ketika diri masih dalam perjalanan. Sedangkan di depan pntu, ruang sudah di depan mata, sehingga tidak membutuhkan banyak upaya dan waktu untuk segera memasuki tempat yang dituju.

Nantinya, kebiasaan dalam penggunaan kata antara "jalan" dan "pintu" akan sangat banyak mempengaruhi kebiasaan diri. Salah satunya dengan tingkat keyakinan, orang yang sedang dijalan tentu saja berbeda keyakinannya dengan yang sudah di depan pintu. Bahkan prasangka itu akan banyak keluar ketika kita masih dalam perjalanan daripada sudah berada di pintu tempat tujuan.

Namun, pintu ini seolah menjadi awal dan akhir untuk menggapai sebuah tujuan. Bayangkan saja, apabila kita hendak mencari penghidupan, niat keberangkatan kita sedari awal mesti harus melalui sebuah pintu sebelum pergi keluar rumah. Selanjutnya, jalanan menjadi medan perjuangan yang mesti darungi. DIsini mungkin kita akan menemukan banyak "pintu" yang harus manusia upayakan dan ikhtiarkan untuk dibuka dan ditelusuri, supaya mendapat keuntungan. Sebelum akhirnya, kita akan kembali lagi menuju pintu awal keberangkatan yang sama.

Setiap hari secara tidak langsung kita selalu dilatih untuk ber-'ilaihi roji'un. Kemanapun dan sejauh apapun kita akan pergi, pada akhirnya kita hanya akan berpulang ke tempat yang sama. Kita dibiarkan mengembara mengarungi untuk mencari cara agar bisa kembali dengan selamat. Namun mayoritas manusia justru terlena dengan segala tipu daya yang memang dibuat indah.

Mengagumi keindahan itu dengan syukur tentu tidak mengapa. Yang menjadi permasalahan adalah kita sudah mengetahui tentang mana yang sejati, mana yang sementara. Mengetahui meksud dan tujuan dirinya hidup di dunia, namun justru mendustakannya. Bahkan, menyombongkan dirinya dengan banyak beupaya menghindari satu-satunya kepastian dari segala yang hidup.

"Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum." (7:40)

Disini, kita banyak diperjumpakan dengan banyak pintu-pintu langit. Setidaknya untuk mencari dan terus menerus mencari sirathal-mustaqim. Dan kita tidak akan pernah tahu, karena bukan kita yang mentukan jalannya. "Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan. Dan Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus." (24:46)

Pertanyaannya, sudahkah diri kita mengupayakan diri menjadi bagian dari "siapa yang dikehendaki-Nya"? Kita mesti berupaya mengidentifikasi secara optimal, karena masih banyak pintu-pintu yang belum kita buka. Banyak yang sedang berjuang memperbanyak pintu yang dibuka, namun engkau yang masih sedikit membuka pintu-pintu itu, malah merasa telah cukup dan puas. Mungkin saja itu baik, tapi tidakkah kamu mengerti bahwa ada juga itu merupakan pembelaan atas rasa malas diri sendiri?

***

13 Juni 2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun