Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

European Super League: "Don't Be Naive, Fans!"

20 April 2021   16:06 Diperbarui: 20 April 2021   17:23 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kontroversi yang akhir-akhir ini begitu hangat diperbincangkan di dunia persepakbolaan adalah akan diadakannya kompetisi baru, yakni European Super League (ESL). Sebuah liga yang berisikan tim elite Eropa yang formatnya tentu sangat berbeda dengan Uefa Champions League atau Liga Champions yang sudah kita kenal selama ini.

Dari 15 kuota founding club, 12 tim sudah menyatakan keikutsertaannya, diantaranya Madrid, Barcelona, Atletico Madrid, Chelsea, Manchester United, Manchester City, Liverpool, Arsenal, Tottenham Hotspur, Internazionale, AC Milan, dan Juventus. Dortmund dan Munchen sedang dalam proses konfirmasi, sedangkan PSG kemungkinan besar akan tidak mengikutinya.

Saya bukan seorang penggila bola, namun saya sendiri pengamat dan penikmat sepakbola sejak masa-masa harus menyisihkan uang saku hanya demi membeli koran Bola atau Soccer. Semakin dewasa saya tidak pernah memaksakan diri untuk mengikuti jadwal pertandingan yang harus saya saksikan secara langsung, akan tetapi bola menjadi pilihan utama ketika waktu sudah benar-benar luang. Kalau highlights pertandingan tentu saja masih terus ditonton.

Nah, fenomena ESL ini justru bisa menjadi oase di tengah padang gurun dunia persepakbolaan. Kenapa? Faktor utama tentu saja ketiadaan para supporter di stadium. Se-bigmatch apapun pertandingan yang disajikan, tetap saja kurang menarik tanpa drama teatrikal pemain keduabelas. Dan hal itu membuat value sebuah pertandingan ikut menurun. "Ngapain nonton live streaming? Garing!"

Hal ini mulai terbaca dan kalau keadaan dibiarkan seperti terus, apalagi masih dalam keadaan pandemi. Klub-klub akan mengalami kesulitan ekonomi. Orang mungkin tidak melihat kalau tim-tim elite itu mempunyai tanggungan biaya gaji berapa perbulannya. Orang fanatik tidak akan melihat peran manajemen, yang mereka lihat hanyalah para idola di atas lapangan hijau. Padahal, sebuah klub itu akan sangat bagus permainannya apabila memiliki sistem manajemen yang baik. Prestasi akan mengikuti setelahnya.

Tidak bisa dipungkiri juga bahwa kekuatan utama dalam sepakbola salah satunya adalah uang. Dengan begitu banyaknya pengeluaran, sedangkan pendapatan untuk klub semakin menyusut dalam keadaan pandemi ini, ESL menjadi wacana untuk menstabilkan kondisi keuangan klub. Begitupun dengan menarik kembali para pecinta sepakbola yang sudah menurun kerinduannya untuk menonton, agar tertarik kembali untuk terus mengikuti.

Salah satu quote paling trending dalam kontroversi ini adalah "created by the poor, stolen by the rich". Kalau saya memiliki penilaian, mereka yang dulunya dianggap miskin tapi mampu membuat sebuah klub, bukankah sudah cukup kaya pada masanya? Dari bintang-bintang sepakbola yang masih aktif dan ikut berbicara, mengapa tidak ada satupun pemain dari ke-12 tim yang menyatakan keikutsertaannya?

"For the Fans?" Ya memangnya fans mampu memberikan gaji para pemain bintang sepakbola. Sekalipun stadium megah itu terisi penuh di setiap pertandingan home, untuk membayar gaji pemain pun masih belum cukup. Belum kebutuhan akomodasi, transportasi, bonus, dll.

"Football was created by God, not only by the poor or the rich. Everyone can play it, enjoy it, watch it. We just need an adaptation that's a little extreme. And it is natural that if there is a discourse on a new system, it will undoubtedly disrupt the comfort zone that has been held by the authorities so far. Capitalism? don't be nave!" -- cuitan saya sendiri.

Jadi, sudah menjadi sesuatu yang wajar apabila penawaran sistem yang baru akan mengganggu kenyamanan orang-orang yang sudah nyaman dengan sistem yang ada. Dan sudah menjadi sebuah pola, bahwa adaptasi terhadap zaman harus terus dilakukan. Begitupun adanya dalam dunia sepakbola, fans tak lebih hanya sebuah komoditas bagi para pebisnis sepakbola. Sekali lagi, don't be nave!

Kalau keadaan seperti ini terus, jangankan tim-tim kecil, tim besar dan elite pun pastinya juga terganggu kondisi keuangannya. Mereka hanya mengandalkan keuntungan menjual pemainnya, menjaga aset wonderkid juga dibutuhkan modal tambahan. Sedangkan, apa upaya dari federasi sepakbola? Kalau tetap lebih mengambil banyak keuntungan daripada sewajarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun