Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Demi Massa, Diri, dan Kebersamaan

17 Maret 2021   16:39 Diperbarui: 17 Maret 2021   16:42 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Morgan Housel on Unsplash

Sebenarnya apa yang kita bisa lakukan untuk dapat membangun sesuatu yang sama sekali kita belum mengetahuinya, namun setidaknya kita bisa mulai mengupayakan dari sekarang. Sebuah masa, yang mana tidak seorang pun dapat memastikan keadaannya. Kecuali , atas upaya yang telah dilakukan bersama dengan dasar kemufakatan bersama.

Dengan kata lain, suatu mufakat tercipta oleh karena musyawarah yang telah dilakukan bersama. Hal ini berlaku di manapun dan kapanpun. Tidak harus dengan orang lain, dengan diri sendiri pun kita mesti mampu memastikan musyawarah itu selalu tercipta dengan diri-diri kita yang lain. Kita yang sedang diamanati sebagai pemimpin, setidaknya bagi masing-masing dirinya sendiri, ataupun diproyeksikan ke dalam lingkungan masyarakat.

Perang melawan diri sendiri bisa jadi juga merupakan musyawarah bersama yang diri sendiri selalu lakukan setiap hari. Namun, apakah kemufakatan selalu dapat tercipta? Kalaupun dapat, sudah berapa kali kita mengingkari kesepakatan tersebut? Saya sendiri tidak yakin bahwa tidak ada yang tidak saya ingkari dalam musyawarah dengan diri, karena peperangan itu selalu ada dan tak pernah terhenti dari kelahiran hingga kematian.

Keselarasan laku dan kata yang terucap menjadi fenomena keindahan yang jarang sekali terlihat pada saat ini. Saya hanya suka mengamati, untuk cerminan bahwa nyatanya saya sendiri juga masih bisa dan sanggup konsisten menyepakti pikiran, kata-kata, dan kebiasaan yang telah banyak terkaktualisasi masing-masing wilayahnya. Saya hanya suka mengevaluasi di mana awal mula kesepakatan itu akhirnya terintervensi oleh "sesuatu hal" dari luar.

Tentu saja, semua itu sanggup di breakdown hingga ketemu akar permasalahannya. Penting tidak penting, karena membutuhkan upaya meditasi dan pencarian ke dalam yang membutuhkan tenaga ekstra. Kecuali, kita maunya pasrah bongkokan. Apa-apa dipasrahkan, tapi tidak pernah ada upaya dibalik sikap kepasrahan. Berserah diri itu baik, namun juga ada wilayahnya. Jangan jadikan sikap berserah diri untuk menutup-nutupi rasa malas yang menjangkit diri!

Ilmu yang paling berguna menurut salah satu pujangga, merupakan ilmu tentang ilmu itu sendiri. Utamanya ilmu tersebut nantinya akan memiliki andil utama dalam membangun dan membingkai model bangunan diri yang sekarang sering kita sebut diri sendiri. Prasangka-prasangka yang sering tergambar, merupakan sebuah manifestasi akan ilmu-ilmu yang banyak telah didapati oleh diri.

Lantas, apa hubungannya ilmu tentang diri dengan musyawarah menuju mufakat? Pertama kita coba melihat, bagian apa yang paling penting dari sebuah musyawarah? Proses atau hasil kesepakatan? Itikad atau muakkad? Kepintaran atau kebijaksanaan?

Sadar-tidak sadar, kita terlalu banyak mempertimbangkan sesuatu dalam bermusyawarah. Hal ini menimbulkan satu konsekuensi utama, yakni waktu. Sekalipun itu dalam suasana untuk mencari keseimbangan, kebersamaan, ataupun kebijaksanaan, nyatanya hal itu hanya akan mewujud setelah bagaimana kita banyak menyepakati sebuah keputusan bersama. Yang terjadi, kita selalu tidak sadar telah banyak terombang-ambing oleh waktu yang siap menebas "kepala" kapan saja.

Sadar-tidak sadar, kita juga banyak terjebak di kubangan yang tidak terlalu mementingkan waktu. Waktu dianggap sebagai sesuatu yang sepele dan diremehkan, bahkan tidak dianggap hidup. Ketika menyadari hal tersebut, kita bisa mulai belajar bahwa waktu yang terlalu banyak terbuang itu jika diakumulasikan mampu teralokasi ke dalam waktu yang lain untuk dijadikan sesuatu yang lebih manfaat. Bahkan, untuk menyelamatkan sesuatu yang lainnya.

Kita hidup diburu oleh pemangsa bernama kematian. Kita tidak bisa lepas dari bidikan waktu yang terus menguntit di belakan atau di depan kita. Kita hidup bukan di kedua belah waktu tersebut. Kita hidup di detik ini dan masa kini. Jadi maksimalkan diri kita yang detik ini sama-sama kita rasakan. Jadilah dirimu dan janganlah takut. Dan lihatlah dampak dari segala sesuatunya tak jauh dari apa yang ada dalam diri mereka sendiri. Karena "tanda-tanda mereka tampak pada mukanya..." (48:29) . Lalu, tidakkah kau akan lebih siap nantinya untuk menyambut masa yang belum kau ketahui?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun