Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dialektika antara Zuhud dan Rasa Malas

26 Februari 2021   16:30 Diperbarui: 26 Februari 2021   16:39 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selalu saja kata-kata itu menghantui tanpa kenal waktu. Menawarkan berbagai macam isyarat untuk ditelisik. Mengajak untuk terus menembus daya limitasi yang menggoda diri untuk sejenak saja melepas rasa mengetahui diri. Ya, tidak akan pernah puas hasrat itu untuk encoba lebih mengenal diri melalui berbagai macam taksir ataupun tafsir terhadap kata-kata itu sendiri.

Konsekuensi utama apabila berani untuk coba-coba adalah keletihan. Baik fisik maupun psikis. Yang pasti keadaan akan mengajak kita untuk mengeluh dan menyesal atas apa yang telah dilakukan. Harus siap dengan celaan-celaan "tidak tahu diri". Hingga, kesedihan datang menyelimuti diri.

Ketika waktu itu datang, janganlah lantas coba untuk kita lari menghindar. Kita harus sadar bahwa selama ini yang terus kita kasih ruang adalah kebahagiaan, sedangkan kesedihan selalu dicampakkan. Padahal, ia datang dengan begitu banyak tawaran hikmah daripada kebahagiaan. Jadi, saat kesedihan itu datang merupakan waktu yang tepat untuk belajar mentransformasi diri, hingga kelak mampu membuat segala kesedihan yang datang diubahnya enjadi sebuah kebaikan bahkan keindahan.

Memang, tidak mudah. Berkali-kali kesempatan itu datang pun tak lekas mampu membuat perubahan seketika pada diri. Karena bisa jadi keadaan itu merupakan sebuah proses awal penyucian diri. Untuk membersihkan segala kotoran yang menempel pada diri dan utamanya hati. Dengan segala kemudahan akses, kita akan sangat lihat mengolah pikiran. Akan tetapi, untuk menjadi pandai dalam mengolah hati. Kita memerlukan pengalaman dan laku.

Pikiran selalu menuntun pada sesuatu yang logis, sedang hati selalu mengajak pada suatu cipta rasa. Keduanya tidak hanya dimiliki oleh manusia, hewan atau makhluk lain pun sangat mungkin memilikinya. Hanya saja pembeda utama antara manusia dengan makhluk lain ditandai dengan keberadaan akal. Seorang Guru pernah menyampaikan bahwa akal ini hendaknya terus dilatih secara dialektis dalam memahami gejala sosial di luar diri.

Oleh karena itu kita diberikan cara-cara berpikir, (sudut-sisi-jarak) pandang, ataupun insting. Hal ini kurang lebih bisa diproyeksikan menjadi subjek, predikat, dan juga objek. Cara berpikir menjadi subjek karena ini merupakan alat utama. Semua yang hidup memiliki cara berpikirnya sendiri, tidak hanya manusia. Dialektika cara berpikir dapat banyak dilatih oleh keberadaan akal dengan banyak menuntut ilmu.

Cara pandang menjadi cara kerja, karena baik sudut, sisi, ataupun jarak pandang akan menghasilkan paradigma sampai nalar yang baru. Dialektika cara pandang disini akan sangat menentukan maksimalitas atau optimalitas cara berpikir ataupun intuisi. Cara pandang akan menempati posisi yang strategis dalam diri manusia. Sebagai manusia, hati memegang kendali atas cara pandang. Yang banyak mengutamakan kepekaan, simpati dan empati, dan juga perasaan sebagai kendali utama dalam menentukan cara pandang. Tidak hanya untuk menjaga kesempurnaan, kebaikan, ataupun keindahan, namun juga untuk menjaga titik proporsional keseimbangan.

Lalu, intuisi atau insting manusia akan sangat bergantung pada kolaborasi antara cara pikir dan cara pandang. Hal ini sangat mungkin dilatih, kecuali bagi orang-orang yang sudah diberikan karomah atasnya. Lantas, apakah jika semua terlatih sudah pasti mendapatkan kemungkinan keadaan yang lebih baik dan seimbang, atau harmonis?

Tentu tidak, apalagi kalau hal-hal yang dilatih tersebut hanya akan menimbulkan pada bertambahnya kesombongan diri. Semua pengetahuan itu "ada"-nya bukan untuk meninggikan hati, tapi untuk menyadarkan diri, bahwa ilmu yang dititipkan pun belum ada apa-apanya karena selalu membuka pintu-pintu ilmu yang lebih luas. Dan juga, pengetahuan dan ilmu yang dimiliki manusia sangat ungkin untuk diambil sewaktu-waktu oleh-Nya.

Pengetahuan cara berpikir ataupun cara pandang juga dimaksudkan untuk "mengetahui" hal yang bersifat ghoib. Akan tetapi, semua itu hanya dimaksudkan agar kita lebih mampu mengingat sesuatu dan melihat segala sesuatu sebagai sebuah rangkaian. Untuk lebih mengetahui sangkan paraning dumadi. Agar mampu mneyelaraskan antara iradah ataupun amr-Nya.

Orang yang tidak mengenali diri biasa disebut sebagai orang fasiq. Namun, sesangar-sangarnya orang fasik, masih bahaya orang dholim. Dan, sedholim-dholimnya orang, masih kalah keji sama orang munafik. Kita mesti selalu berhati-hati dalam setiap eskalasi capaian diri. Bahkan, kita yang merasa sudah mampu mengetahui diri apakah bisa benar-benar memastikan bahwa yang dikenali itu adalah yang sejati?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun