Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yang Meliputi Kutukan ataupun Kelembutan

23 Februari 2021   16:11 Diperbarui: 23 Februari 2021   16:24 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: @pieu_kamprettu

Syukur menjadi sebuah pintu menuju kebaikan. Namun, untuk mendapati syukur itu sendiri apakah selalu berasal dari sesuatu yang baik, menambah kenyamanan, atau membuat bahagia? Tidak bisakah rasa syukur itu berasal dari suatu pengalaman yang buruk, keterpurukan, pengkhianatan, pengasingan, atau bahkan kutukan-kutakan yang mengarah pada diri? Tentu saja bisa, karna pada akhirnya hanya atas rasa syukurlah  segala kutukan tersebut mampu diubah menjadi kelembutan.

Ada salah satu cerita itu datang dari seorang Nabi Musa as. bahwa dengan segala kesadaran dan ketauhidannya, beliau sampai berkata, "bagaimana lagi aku bisa bersyukur kepada-Mu kalau rasa syukur itu sendiri adalah pemberian-Mu." Hal ini menandakan bahwa syukur itu juga merupakan salah satu nikmat yang diberikan kepada hamba-hamba yang terpilih. Tidak mudah memiliki hati yang penuh syukur, kecuali hanya sebatas pandai berlomba mengucap rasa syukur.

Syukur yang harusnya menjadi pintu menuju kebaikan, diubahnya menjadi sesuatu yang penuh balutan hasrat ingin berbuat baik. Kita harus bisa membedakan antara menuju kebaikan dan hasrat ingin berbuat baik. Orang yang selalu berjalan menuju kebaikan tak akan pernah mengetahui kapan ia sampai di dalam makna kebaikan. Mereka tahu bahwa kebaikan dan kebenaran adalah milik Puannya, sedangkan kebaikan dan kebenaran dari manusia hanyalah sebatas sangkaan.

Lalu, apabila syukur merupakan hasrat ingin berbuat baik, hal ini akan berpotensi menjadi sesuatu yang berlebihan. Walaupun jika kita memakai kacamata pandang yang sederhana, yang penting tidak melakukan sesuatu yang maksiat, itu sudah termasuk baik. Namun, hasrat akan mendorong diri kepada sesuatu yang berlebihan itu memabukkan dan itu kurang tepat. Orang yang kurang bisa mengendalikan hasrat dirinya --termasuk dalam kebaikan--- akan mudah kehilangan kontrol atas dirinya.

Rasa syukur ini identik dengan bacaan tahmid. Sedangkan bacaan tahmid ini sendiri memiliki anjuran untuk dibaca 33x setelah bacaan tasbih. Pasti ada alasan bagi orang yang pertama kali menganjurkannya kenapa urutan itu (tasbih -- tahmid -- takbir) dibuat sedemikian rupa. Ya, kita seharusnya membiasakan diri untuk terus mencari dan mengungkap segala makna yang tersirat. Tidak hanya patuh dan patuh, kecuali hanya akan menghambat potensi untuk berani berinisiasi dan berinovasi.

Benar adalah sesuatu yang baiknya didapati dari setiap laku. Namun, hal tersebut tidak berarti kita mampu menghindari kemungkinan salah merupakan kepastian yang hampir selalu dijumpai. Benar yang sekarang didapati belum tentu akan berlaku di masa yang akan datang. Begitupun dengan salah yang dijumpai, besar kemungkinan akan menjadi sebuah potensi hikmah yang sangat besar di masa yang akan datang. Terlebih jika kita selalu membiasakan diri untuk terus selalu bersyukur.

Karena dengan terus menerus mengucapkan terimakasih atas segala hal yang didapati, terlebih dengan sikap penuh kerendah-hatian, hal itu akan mengarahkan kita untuk kembali ke koridor qudroh ataupun iradah-Nya. Sejumlah orang berterima kasih kepada Tuhan karena kutukan-Nya, dan sebagian berterima kasih atas kebaikan ataupun kelembutan-Nya. Dan keduanya benar.

"Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran)." (7:168)

Ada banyak ekspresi yang bisa merupakan sebuah wujud syukur. Hanya saja, ada satu wujud sikap yang terkadang masih membuat diri harus lebih waspada. Orang jawa sering menyebutnya dengan misuh atau melampiaskan apa yang dirasa lewat kata-kata negatif. Acapkali karena mengalami kemesraan yang berlebihan, orang sering mengatakan misuh bisa jadi merupakan sebuah wujud syukur.

Tapi, kedua hal itu berbeda. Apabila disamakan, hal tersebut akan kontra-produktif, kecuali kalau ada jeda waktu setelah misuh dilakukan. Karena kedua hal itu tidak dapat terjadi dalam waktu yang bersamaan.

Kita mesti pintar-pintar membuat porsi agar tidak mudah kehilangan pemberian nikmat syukur. Terutama, lebih membiasakan mengucap kasih tidak hanya sebatas nikmat yang didapat, melainkan juga ketika ujian atau musibah datang. Karena segala kejadian --baik atau buruk--- yang menimpa diri pasti telah melalui legalitas ijin-Nya. La haula wa la quwwata illa billah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun